Di Setiap penghujung bulan Desember, kita selalu dihadapkan pada fenomena perdebatan panjang tak berujung dengan tema besar "Ucapan Selamat Natal" dari seorang Muslim kepada ummat Nasrani. Perdebatan ini melahirkan dua kelompok besar antara yang pro dan kontra, atau dalam bahasa Agamanya adalah Halal dan Haram.
Uniknya, perdebatan sengit ini terjadi di dalam jamaah kaum muslimin sendiri, sedangkan yang punya Natal sendiri tidak terlalu membahasnya secara panjang tak berujung layaknya kaum Muslimin. Sehingga laber terkait ummat dengan 1001 perbedaan ini seakan-akan memang demikian adanya.
Pertanyaannya ... Kita di pihak yang mana ???
InsyaAlloh tulisan ini dibuat tidak untuk menyudutkan salah satu pihak, antara pihak halal atau pihak haram, dan juga tidak berniat untuk mengajak berdebat kepada yang pro atau yang kontra, murni hanya ingin menyampaikan apa yang penulis yakini sebagai hasil pembelajaran panjang tentunya dan dari beberapa guru dan pengajar tentunya.
Berawal dari Tauhid
Dalam ajaran Islam, berbagai pembelajaran dan juga buku-buku yang membahas Aqidah dan Keimanan difahami bersama bahwa semua diawali dengan Tauhid, yaitu sebuah sikap Menjadikan Alloh SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah.
Tauhid sendiri merupakan inti pesan dari kalimat Syahadat yang pertama, yaitu ... لآإِلَهَ إِلاَّ الله (Laa Ilaaha Illalloh). Kalau kita cermati makna dari kalimat tersebut, maka kalimat tersebut terdiri dari empat kata, dan dua suku kata. Dua suku katanya mewakili dua sikap yang akan lahir dari bagi setiap orang yang bersyahadat.
Sikap Pertama ...
Laa Ilah ... bermakna "Tidak ada Ilah", Kata Laa dalam bahasa Arab adalah Harfun Nida bermakna Tidak, yaitu kata yang mewakili sebuah penolakan atau peniadaan (menafikan) terhadap sesuatu. Sedangkan "Ilah" dalam kita-kitab Aqidah maupun Tafsir bermakna "Sembahan", yang merupakan salah satu sifat Tuhan.
Jadi, sikap pertama yang lahir adalah "Meniadakan segala bentuk sesembahan atau pun yang disembah, atau meniadakan segala bentuk Tuhan dan penuhanan"
Sikap Kedua ...
Illalloh ... Bermakna "Kecuali Alloh", ini merupakan kalimat penegasan bahwa "Hanya Alloh saja". Kalau kita rangkaikan menjadi satu kalimat maka, "Tidak ada Sembahan Kecuali Alloh".
Sehingga lahir sikap kedua, yaitu "hanya mengakui bahwa sesmbahan yang berhak disembah hanya Alloh SWT".
Para ulama tauhid sepakat bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh (tiada tuhan yang disembah dengan hak kecuali Allah), bukan Lâ ma‘bûda illallâh, (tiada tuhan yang disembah selain Allah). Andai makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma‘bûda illallâh, (tiada tuhan yang disembah selain Allah), niscaya kenyataannya berbohong. Sebab, masih mengasumsikan ada tuhan-tuhan selain Allah di luaran sana yang disembah. Padahal, tuhan-tuhan itu semuanya batil kecuali Allah. Karena itu, perlu dipastikan bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah tiada tuhan yang hak kecuali Allah. Tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia. (Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).
Dalam kitab yang lain dijelaskan, Makna Laa ilaaha illallah [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] yang benar adalah [ لآ معبود حق إِلاَّ اللهُ ] ) ( Laa ma’buuda bi haqqin illallah ), artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja. Semua sesembahan yang disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, matahari, bulan, bintang, kuburan, berhala, dan sesembahan lainnya dalah sesembahan yang batil, tidak bisa memberikan manfaat dan tidak pula bisa menolak bahaya.
Pada kalimat [ لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] terdapat empat kata yaitu:
Kata Laa ( لآُ) berarti menafikan, yakni meniadakan semua jenis sesembahan.
Kata ilaah ( إِلَهَ) berarti sesuatu yang disembah.
Kata illa (إِلاَّ ) berarti pengecualian.
Kata Allah (الله ) maksudnya bahwa Allah adalah ilaah/sesembahan yang benar.
Dengan demikian makna [لآإِلَهَ إِلاَّ الله ] adalah menafikan segala sesembahan selain Allah dan hanya menetapkan Allah saja sebagai sesembahan yang benar. (At-Tamhiid li Syarhi Kitabi At Tauhiid 72-78).
Apa Itu Natal ?
Natal adalah hari raya ummat Nasrani yang diperingati tiap tanggal 25 Desember. Perayaan ini khusus untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus ke dunia. Yesus Kristus adalah Tuhan bagi Ummat Nasrani.
Kalai dilihat dalam kaca mata sejarah, antara Yesus Kristus dalam pemahaman Nasrani dan Nabi Isa as dalam pemahaman ajaran Islam adalah sama, namun perlakuannya berbada. Ummat Nasrani menganggap Yesus Kristus adalah Tuhan, Sedang Ummat Islam menganggap Nabi Isa as adalah utusan Tuhan, atau Rosul. Jadi, kalau kita berbicara tentang Natal, maka kita sedang membicarakan kelahiran Tuhan, bukan Nabi sesuai keyakinan ummat Nasrani.
Perdebatan Panjang yang Tak Berujung
Berawal dari ungkapan Buya Hamka sebagai Ketua MUI sekitar tahun 1981 yang kemudian menjadi fatwa MUI tentang haramnya perayaan Natal bersama, termasuk terkait ucapan Natal yang apakah termasuk dalam fatwa itu atau tidak yang menjadi perbedaan pemahaman yang terus - menerus sampai saat ini. Meskipun beberapa tahun belakangan muncul klarifikasi baik dari pengurus MUI maupun dari pihak ahli waris terkait "Apakah ucapan Natal juga masuk dalam fatwa Haram Natal bersama" tersebut atau tidak. Berbagai pendapat terus bermunculan, atara yang menyatakan termasuk atau tidak, dan antara yang setuju atau tidak.
Bagaimana Sikap Kita ... ???
Kalau ditanya demikian, maka sikap yang paling tepat adalah :
1. Perkuat terus menerus pemahaman kita tentang Tauhid dan pengamalannya.
Dengan kita perkuat Tauhid kita, semoga Alloh SWT membuka jalan bagi kita untuk mendapatkan hidayah, sehingga dengan hidayah itu kita bisa tau kemana keputusan kita.
2. Kembali kepada Taqwa.
Satu inti dari ketaqwaan adalah "Takut dan Waspada serta Hati-hati". Kalau kita mendalami makna kalimat لآإِلَهَ إِلاَّ الله , maka setidaknya akan lahir dua sikap dalam diri, yaitu "Meniadakan segala bentuk Tuhan dan Penuhanan", serta "Menegaskan hanya Alloh saja yang berhak disembah".
Bila kita kaitkan dengan ketaqwaan, maka tentunya kehati-hatian yang akan kita kedepankan. Bagaimana mungkin di sisi lain kita menegaskan "Tidak ada sesembahan lain yang haq disembah kecuali Alloh SWT", namun di sisi lain kita mengakui lahirnya Tuhan lain dengan ikut memberi selamat, karena ungkapan selamat dalam kaedah bahasa sejatinya adalah sebuah pengakuan atas sesuatu, bagaimana mungkin kita mengatakan "selamat atas kemenangan anda", namun di sisi lain kita tidak mengakuinya, bukannkah itu sebuah kebohongan ?
Ungkapan selamat bukan berarti kita otomatis menjadi bagian dari yang diselamati (begitu ungkapan beberapa pakar liberalism), namun apa salahnya jika kita berhati-hati untuk tidak terjebak dalam sebuah sikap "Pengingkaran Sumpah kepada Alloh SWT dan Kebohongan", dikarenakan kita mengingkari sendiri ungkapan kita ketika mengucapkan kalimat syahadat. Sekalipun kita tidak otomatis berpindah keyakinan, namun kita juga harus faham apa konsekwensi dari sebuah pengingkaran dan kebohongan terhadap syahadat. Padahal syahadat menjadi yang paling inti dalam pembuktian kita sebagai hamba yang beriman.
Wallohu'alam
No comments:
Post a Comment
Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya