Pada kesempatan ini, penulis hanya ingin berbagi pengalaman dan pengamatan dari pengalaman yang sudah penulis alami dan terapkan, ketika ditugaskan menangani Asrama Santri, mulai dari pengasuh biasa, Pembimbing, dan Pembina Asrama. Mulai dari usia SD sampai dengan usia SMA dan usia Sebelum Kuliah.
Ada yang sukses terlaksana dengan baik dan ada yang sedang berproses menuju sukses.
Kita mulai dari sebuah Impian dan Harapan ketika kita ditugaskan di tempat yang didominasi anak-anak dengan usia beragam adalah "Bagaimana kondisi kehidupan berjalan baik dengan setandar aturan baku yang disepakati oleh aturan Agama dan aturan Negara, dimana aturan baku itu dijalankan oleh mereka dengan menajemen dan kontrol dari mereka, sesama mereka dan untuk mereka sendiri, tanpa banyak campur tangan terlalu jauh dari para pengasuh dan Pembimbing atau bahkan Pembina".
Impian dan Harapan seperti ini bukanlah sesuatu yang mustahil tentunya, karena sudah banyak contoh yang bisa dijadikan bukti bahwa hal itu dapat berjalan sukses tanpa dihadapkan pada kondisi yang tidak diinginkan. Walau pun proses menuju kesana cukup panjang dan rumit.
Kondisi yang Sering Terjadi
Kita mulai dari beberapa kondisi yang sering terjadi dijumpai ketika penulis diamanahkan mengelola kehidupan berasrama Anak-anak.
1. Menejemen Ancaman
Ancaman merupakan alat yang paling mudah dilakukan untuk membuat orang lain menuruti kemauan kita. Apalagi ketika yang ingin diperintahkan perlu kecepatan untuk dinilai tuntas, maka memberikan ancaman adalah jalan pilihan yang paling memungkinkan.
Apakah ini tindakan yang tidak baik ?
Jawabannya tentunya tidak bila dilakukan dengan proporsional sesuai kebutuhan dari sebuah aturan, karena hampir semua sistem yang berjalan pasti mengandung ancaman sebagai alatnya.
Menjadi salah ketika ancaman ini mendominasi setiap kebijakan, dan dilakukan berlebihan, seakan-akan hanya ancamanlah metode terbaik dalam menggerakkan kondisi.
Kita akan terjebak pada kondisi dimana sistem tidak akan berjalan tanpa diancam dan ketika berjalan pun tidak berkesinambungan, hilang ancaman dan pengancamnya makan akan berhentilah sistem itu.
Mengapa demikian ?
Kondisi paling sering terjadi adalah, sistem hanya berjalan berdasarkan keterpaksaan dan ukuran paling minimal, sehingga tidak ditemukan kondisi ideal dimana sistem itu berjalan sebagaimana kebutuhan yang terus-menerus akan selalu ditemui. Sistem di bawah ancaman akan berjalan pada saat diancam, dan akan berhenti ketika tidak diancam, sekalipun kondisi masih sangat membutuhkan sistem itu tetap berjalan. Ancama akan membutakan pemahaman terhadap sistem bahwa yang dilaksanakan itu sebuah kebutuhan, dalam pemahaman mereka hanya sampai pada kewajiban melaksanakan saja.
Belum lagi apabila kita terjebak pada kebiasaan melakukan "Ancaman Dusta", dimana kita memberikan ancama tetapi ternyata tidak dilaksanakan, ini akan berpotensi merusak kewibawaan kepemimpinan. Adakalanya Ancaman Dusta ini terjadi bukan karena kita tidak mau melakukannya, tetapi karena kita terjebak oleh "Ancaman yang tidak masuk akal" dan "Ancamam yang tidak mungkin dilakukan".
Sebuah permisalan sederhana, "Awas kalau anda melanggar lagi, akan saya suruh memindahkan gunung!" atau "Awas kalau anda melanggar lagi akan saya hilangkan nyawamu!".
Ungkapan pertama tidak masuk akal bila harus dilaksanakan, padahal sudah terlanjur terungkapkan, sedangkan yang kedua sangat bisa dilakukan tapi tidak mungkin untuk dilakukan, karena itu melanggar aturan kehidupan yang berlaku.
2. Politik Tekanan
Selain menggunakan ancaman, kadang sering terjadi bahwa para penggerak menggunakan politik tekanan, yaitu melakukan nacaman berkesinambungan dan terus-menerus. Sekedar untuk memastikan bahwa ketaatan jangka pendek dapat terus bersambung-sambung. Maka dibutuhkan sebuah kekuatan yang lebih besar untuk menciptakan ancaman yang lebih besar dan tidak tunggal. Dicarilah para pendukung yang memiliki loyalitas untuk membenarkan sebuah ancaman yang kemudian ancaman itu dilakukan secara sistematis dan rapi. Hasilnya, ketika kepengurusan selesai, maka tidak ada kesan baik yang ditimbulkan, sekalipun secara fisik ada bekas-bekas kebaikan yang ditinggalkan. Karena kembali pada asas awal bahwa sistem hanya berjalan berdasarkan kewajiban dan ketakutan saja, tidak ada pembelajaran dan pemahaman terkait kebutuhan di dalamnya.
3. Sistem Pembulian
Akibat dari Sistem Ancaman dan Politik Tekanan, maka akan muncul golongan yang ingin meniru-niru karakteristik kepemimpinan, dan juga merasa berhak melakukan tindakan kepada sesamanya. Terjadilah kondisi merasa saling berhak untuk melakukan evaluasi dan tindakan langsung kepada yang dianggap selalu bersalah atau memiliki sedikit kekuatan.
4. Tindakan Langsung Insidentil
Ada kondisi dimana kita begitu gemas melihat sebuah pelanggaran terjadi di depan mata, kondisi ini biasa terjadi ketika minimnya kontrol aktif di tengah mereka. Akhirnya kita merasa berhak melakukan tindakan langsung yang kita anggap benar, namun di luar prosedur yang berlaku. Atau kadang yang lebih unik, kita menganggap salah sesuatu yang sebenarnya tidak salah, dan kita merasa berhak untuk melakukan teguran keras dan bahkan tindakan tindakan langsung.
Niatnya memang baik, melakukan sebuat pengingat kepada pelaku pelanggaran, namun hasilnya akan kurang maksimal dan bahkan cenderung menghasilkan kebingunan yang terus menerus terhadap objek yang terkena dan juga akan memberika kesan kurang baik bagi pelakunya.
5. Evaluasi tanpa Kontrol
Ada pemimpin atau pun penggerak sistem yang bila dimisalkan seperti orang yang suka melempar tampa melihat, kemudian suatu saat setelah sekian lama tiba-tiba mencari dimana posisi lemparan dan bagaimana kondisinya. Menyampaikan program hanya sekali di awal, kemudian tidak tahu-menahu dengan proses pelaksanaannya, datang hanya evaluasi, mengumpulkan semua bukti yang tidak berjalan, lalu menumpahkan semua kekesalan kepada pelaksana tehnis yang dianggap tidak tuntas, maka kesan yang muncul kemudian adalah, pemimpin kerjanya hanya menyalahkan dan mencari kesalahan. Tanpa memberikan pendampingan dan pembelajaran supaya amanah dapat berjalan indah.
6. Pelanggar Langganan
Kondisi ini sangat sering dijumpai, dimana orang yang sering melakukan pelanggaran tidak berganti alias hanya itu-itu saja. Sehingga menimbulkan kesan yang kurang baik bagi sang pelanggar di masa yang akan datang, minimal melekat sebuah label negatif.
Banyak faktor yang mempengaruhi, namun entah mengapa selalu saja hal itu terjadi, sehingga menjadi alasan bagi siapa pun untuk mengecap sang pelaku dengan istilah "Ahli melanggar".
7. Eksploitasi Kesalahan Minim Apresiasi
Ada pula pemimpin yang begitu suka sekali ketika menemukan kesalahan anak asuhnya, bahkan dibahas panjang lebar dalam sebuah kuliah umum, mulai dari sebab-sebab sampai pada efek negatif yang akan ditimbulkan bila hal itu tidak segera dibenahi. Tapi di sisi lain, tidak pernah ada pembahasan panjang bila ada yang berprestasi atau sekedar melakukan hal yang membanggakan. Seakan-akan, hasil positif itu tidak terhitung sebagai sebuah hasil kerja dan dianggap biasa saja berlalu. Padahal Secara kejiwaan, hal ini bukan merupakan tindakan positif dan cenderung menjadi pembelajaran yang tidak adil dan memberikan pelayanan.
8. Punishmen Yes, Reward No
Sering ditemukan rapat panjang lebar untuk sekedar menentukan jenis-jenis hukuman (Punishmen)apa yang akan mebuat pelaku pelanggaran jera dan tidak mau mengulangi perbuatannya. Namun, tidak ada satu pun pembahasan terkait penghargaan atau hadiah (Reward) bagi yang berprestasi.
9. Menuntut tanpa Menilai
Ada pula yang selalu menuntut untuk kesempurnaan sebuah target capain kerja, tetapi ketika target itu sudah terlaksana bahkan dengan nilai sempurna untuk standar pelaksanaan pada umumnya, kesan yang keluar tetaptidak memuaskan dan dianggap seperti belum melakukan kerja apa pun.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, namun yang paling sering adalah, ada kesan negatif yang melekat pada diri pelaksana yang terkait dengan masa lalunya, sehingga dia mendapat cap atau label yang tidak indah dan itu pun berpengaruh pada penilaian kinerjanya. Semisal contohnya; mungkin dulunya dia adalah anak yang sering atau pernah masuk daftar pelanggar aturan.
Dan faktor lainnya bisa saja merupaka karakter sang pemimpinnya.
Bagaimana Seharusnya
1. Sadari Objek
Hal yang paling pertama perlu dilakukan adalah "Menyadarkan diri kita bahwa objek kita adalah anak-anak", karena akan berbeda penerapannya dengan orag dewasa atau penerapan pada umumnya.
2. Sosialisasi Sampai Faham
Pastikan penjelasan awal terkait apa yang akan dilaksanakan benar-benar mereka fahami, mulai dari penggunaan bahasa penyampaian, metode penyampaian, strategi penyampaian, momen-momen tertentu dan sering-sering dicek ulang apakah mereka sudah faham atau belum.
3. Sertakan Aturan Terbaca
Sebagai penguat untuk memastikan bahwa pemahaman mereka terjaga, sertakan aturan yang dapat dibaca di posisi-posisi tertentu. Selain fungsinya untuk mengingatkan, juga membatu kita untuk melakukan teguran yang tepat di tempat itu dengan cukup meminta mereka membacanya.
4. Bimbing Cara Penerapannya
Ajarkan dan contohkan bagaimana cara penerapannya sampai kita yakin mereka mampu melaksanakan secara mandiri, lalu kemudian lepaskan mereka melaksanakannya. Jangan sampai kita tidak barengi sebuah program tanpa pendampingan yang baik. Karena penugasan bagi mereka adalah proses pembelajaran langsung.
5. Pantau dari Jauh
Pantau dari jauh saja, bagaimana cara mereka melaksanakan apa yang sudah kita ajarkan dan contohkan, hal ini untuk melatih kinerja mereka dan kemandirian tentunya serta menghindari sikap terlalu mengajari dan mendikte.
6. Berikan Kepercayaan
Berikan kepercayaan penuh bahwa mereka bisa melaksanakannya dengan baik, rasa was-was pada diri kita akan mengganggu proses bpendampingan, dan bila dibiarkan maka kita akan terlalu sering turun tangan terhadap sesuatu yang tidak perlu, dan ini akan berakibat, mereka pun tidak akan mau maksimal melaksanakannya, apakah karena merasa kurang dipercaya atau ada rasa ketergantungan.
7. Tegur dengan Bijaksana
Teguran adalah pembelajaran terbaik yang selalu tersedia setiap saat, namun itu hanya berlalu untuk teguran yang dilakukan secara bijaksana. Salah melakukan teguran justru akan merusak proses pendidikan anak-anak itu sendiri.
8. Evaluasi Berkala
Buat jadwal untuk kumpul bersama para pemegang amanah yang kita tugaskan. Manfaatkan kegiatan kumpul itu untuk bertanya tentang "Bagaimana kondisi pelaksanaan kegiatan". Dan pastikan kegiatan kumpul itu adalah kegiatan yang nyaman, dan kegiatan yang selalu dinanti pelaksanaannya. Bukan malah menjadi kegiatan yang ditakuti pelaksanaannya.
9. Hukuman dan Apresiasi sepatutnya
Hukuman wajib ada, namun harus benar-benar sesuai dengan aturan yang disepakati. Hukuman harus disandarkan pada asas "Menyadarkan". Jangan jadikan hukuman seakan-akan sebuah ajang pelampiasan kekesalan kita. Karena, tidak selamanya "Efek Jera" menyadarkan bahwa diri mereka salah. Lalu, apa manfaatnya bila hukuman tidak menyadarkan, yang ada akan ada hukuman yang selalu berulang pada orang yang sama.
Kemudian jangan lupa juga, untuk memberikan Apresiasi atas sebuah kesuksesan, minimal sebuah pujian indah, dan akan lebih sempurna bila dalam bentuk hadiah ringan.
10. Tegas tanpa Ganas
Bedakan antara Ketegasan dengan Kegarangan atau Keganasan, karena keduanya memang berbeda. Ketegasan itu adalah kekuatan pendirian pada suatu yang memang benar atau memang salah, sekali pun itu dilakukan dengan sikap yang lembut. Sedangkan Kegarangan merupakan tindakan mengeraskan sikap dengan meluapkan emosi melebihi kondisi normal kita untuk menimbulkan efek supaya ditakuti.
Jadikan Pembelajaran
Dan sikap terbaik bagi kita tentunya adalah, jadikan segala hal sebagai pembelajaran. Sehingga, akan selalu ada pembelajaran dari setiap hal yang pernah dilalui. Apalagi, Rosul saw mengajarkan :
أُطْلُبُوا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ اِلىَ اللَّهْدِ
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”
Bila itu sukses, maka dapat digunakan sebagai pedoman, dan bila belum sukses, dapat dijadikan media untuk melahirkan solusi terbaik. Tiada detik berlalu bagi seorang Mukmin, melainkan sebuah pembelajaran.
Wallo'alam
-----------------------------------------------------------------
Oleh : Muhammad Muttaqin, S.Sos.I
Pendidik dan Pengasuh di Pondok Pesantren Hidayatullah
No comments:
Post a Comment
Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya