Assalamu'alaikum ... Selamat Datang ... Semoga Blog Ini Bisa Memberi Manfaat ... Jangan Bosan Untuk Kembali lagi ^_^

Thursday, June 30, 2011

Apa Salah Cinta ?

“Maaf Akhi, bukannya saya tidak menghormati permintaan akhi. Tapi rasanya kita cukup menjalin ukhuwah saja dalam perjuangan. Saya doakan semoga akhi menemukan pasangan lain yang lebih baik dari saya.”

Wah-wah, bagaimana rasanya bila kalimat di atas dialami oleh para ikhwan? Bisa saja langit terasa runtuh, hati berkeping-keping. Sang pujaan hati yang kita harapkan menjadi teman setia dalam mengarungi perjalanan hidup menampik khitbah kita. Segala asa yang pernah coba ditambatkan akhirnya karam. Cinta suci sang ikhwan bertepuk sebelah tangan.

Ya drama kehidupan menuju meghligai pelaminan memang beragam. Ada yang menjalaninya dengan smooth, amat mulus, tapi ada yang berliku penuh onak duri, bahkan ada yang pupus ditengah perjalanan karena cintanya tak bertaut dalam maghligai pernikahan.
Ini bukan saja dialami oleh para ikhwan, kaum akhwat pun bias mengalaminya. Bedanya, para ikhwan mengalami secara langsung karena posisi mereka sebagai subyek/pelaku aktif dalam proses melamar. Sehingga getirnya kegagalan cinta –seandainya memang terasa getir- langsung terasa. Sedangkan kaum akhwat perasaanya lebih aman tersembunyi karena mereka umumnya berposisi pasif, menunggu pinangan. Tapi manakala sang ikhwan yang didamba memilih berlabuh dihati yang lain kekecewaan juga merebak dihati mereka.

Mengambil sikap
Ikhwan dan akhwat rahimakumullah, siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia. Dengannya, manusia adalah manusia bukan onggokan daging dan tulang belulang. Ia juga bukan robot yang bergerak tanpa perasaan, tapi manusia memiliki aneka emosi jiwa. Ia bisa bergembira tapi juga bisa kecewa.
Emosi negatif, seperti perasaan kecewa akibat tertolak, bukannya tanpa hikmah. Kesedihan akan memperhalus perasaan manusia, bahkan akan meningkatkan kepekaannya pada sesama. Bila dikelola dengan baik maka akan semakin matanglah emosi yang terbentuk. Tidak meledak-ledak lalu lenyap seketika. Ia akan siap untuk kesempatan berikutnya; kecewa ataupun bergembira. Jadi mengapa tidak bersyukur manakala kita ternyata bisa kecewa? Karena berarti kita adalah mansia seutuhnya.
Kegagalan meraih cinta juga bukan pertanda bencana. Tapi akan memberikan pelajaran beharga pada manusia. Seorang filsuf bernama John Charles Salak mengatakan : Orang-orang yang gagal dibagi menjadi dua; yaitu mereka yang berfikir gagal padahal tidak pernah melakukannya, dan mereka yang melakukan kegagalan dan tak penah memikirkannya.
Karenanya kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru awal dari segala-galanya. Meski terdengar klise tapi ada benarnya; ambillah pelajaran dari sebuah kegagalan lalu buatlah perbaikan diri. Tentu saja itu dengan tetap mengimani qadla Allah SWT.
Agar kegagalan mengkhitbah tidak menjadi petaka, maka ikhwan dan akhwat, persiapkanlah diri sebaik-baiknya, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

Percayai qadla
Manusia tidak suka dengan penolakan. Ia ingin semua keinginannya selalu terpenuhi. Padahal ditolak adalah salah satu bagian dari kehidupan kita. Kata seorang kawan, hidup itu adakaanya tidak bisa memilih. Perkataan itu benar adanya, cobalah kita renungkan, kita lahir kedunia ini tanpa ada pilihan; terlahir sebagai seorang pria atau wanita, berkulit coklat atau putih, berbeda suku bangsa, dsb. Demikian pula rezeki dan jodoh adalah hal yang berada di luar pilihan kita. Man propose, god dispose. Kita hanya bisa menduga dan berikhtiar, tapi Allah jua yang menentukan.
“Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari kemudian menjadi ‘alaqah kemudian menjadi janin, lalu Allah mengutus malaikat dan diperintahkannya dengan empat kata dan dikatakan padanya: ‘tulislah amalnya, rizkinya dan ajalnya.” (HR.Bukhari)
Maka kokohkanlah keimanan saat momen itu terjadi pada kita. Yakinilah skenario Allah tengah berlangsung, dan jadilah penyimak yang baik dengan penuh sangka yang baik padaNya. Tanamkan dalam diri kita ‘Allah Mahatahu yang terbaik bagi hamba-hambaNya'.
Jangan biarkan kekecewaan menggerogoti keimanan kita kepadaNya. Apalagi dengan terus menanamkan prasangka buruk padaNya. Segerahlah sadar bahwa ini adalah ujian dari Allah . akankah kita menerima qadla-Nya atau merutuknya?
Dengan demikian, fragmen yang pahit dalam kehidupan InsyaAllah akan memperkuat keyakinan kita bahwa Allah sayang pada kita. Demikian sayangnya, sampai-sampai Allah tidak rela menjodohkan kita dengan si fulan yang kita sangka sebagai pelabuhan cinta kita.

Bersiap untuk cinta dan bahagia
“Seandainya ukhti menjadi istri saya, saya berjanji akan membahagiakan ukhti,” demikian ungkapan keinginan para ikhwan terhadap akhwat yang akan mereka lamar. Puluhan, mungkin ratusan angan-angan kita siapkan seandainya si dia menerima pinangan cinta kita. Kita begitu siap untuk berbahagia dan membahagiakan orang lain. Sama seperti banyak orang yang ingin menjadi kaya, tenar dan dipuja banyak orang.
Sayang, banyak diantara kita yang belum siap untuk merasa kecewa. Dan ketika impian itu berakhir kita seperti terhempas. Tidak percaya bahwa itu bisa terjadi, ada akhwat yang ‘berani' menolak pinangan kita. Bila kurang waras, mungkin akan keluar ucapan, “berani-beraninya...” atau “apa yang kurang dari saya.....”
Akhi dan ukhti, jangan biarkan angan-angan membuai kita dan membuat diri menjadi tulul amal, panjang angan-angan. Sadarilah semakin tinggi angan membuai kita, semakin sakit manakala tak tergapai dan terjatuh. Ambillah sikap simbang setiap saat; bersiap diri menjadi senang sekaligus kecewa. Sikap itu akan menjadi bufferl penyangga mental kita, apapun yang terjadi kelak.
Manakala kenyataan pahit yang ada di depan mata, sang akhwat menolak khitbah kita atau sang ikhwan memilih ‘bunga' yang lain, hati ini tidak akan tercabik. Yang akan datang adalah keikhlasan dan sikap lapang dada. Demikian pula saat ia menjatuhkan pilihannya pada kita, hati ini akan bersyukur padaNya karena doa terkabul, keinginan menjadi kenyataan.
” Menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya urusannya seluruhnya baik dan tidaklah hal itu dimiliki oleh seseorang kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur maka hal itu baik baginya, dan jika menderita kesusahan ia bersabar maka hal itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)

Bukan Aib
Ditolak? Emang enak! Wah, mungkin demikian pikiran sebagian ikhwan. Malu, kesal dan kecewa menjadi satu. Tapi itulah bentuk ‘perjuangan' menuju pernikahan. Kita tidak akan pernah tahu apakah sang pujaan menerima atau menolak kita, kecuali setelah mengajukan pinangan padanya. Manakala ditolak tidak usah malu, bukan cuma kita yang pernah ditolak, banyak ikhwan yang ‘senasib' dan ‘sependeritaan'.
Saatnya berjiwa besar ketika ditolak. Tidak perlu merasa terhina. Demikian pula saat banyak orang tahu hal itu. Bukankah apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang benar? Mengapa mesti malu.

‘Kita mungkin takkan Bahagia'
Marah-marah karena lamaran tertolak? Mendoakan keburukan pada ikhwan yang tidak mencintai kita? Itu bukan sikap seorang muslim/muslimah yang baik. Tidak ada yang bisa melarang seseorang untuk jatuh cinta maupun menolak cinta. Sebagaimana kita punya hak untuk mencintai dan melamar orang, maka ada pula hak yang diberikan agama pada orang lain untuk menolak pinangan kita. Bahkan dalam kehidupan rumah tangga pun seorang suami dan istri diberikan hak oleh Allah SWT. Untuk membatalkan sebuah ikatan pernikahan.
Mengapa ada hak penolakan cinta yang diberikan Allah pada kita? Bahkan dalam pernikahan ada pintu keluar ‘perceraian'? jawabannya adalah sangat mungkin manusia yang jatuh cinta atau setelah membangun rumah tangga, ternyata tak kunjung memperoleh kebahagiaan ( al hanaah ) dari pasangannya, maka tiada guna mempertahankan sebuah bahtera rumah tangga bila kebahagiaan dan ketentraman tak dapat diraih. Wallahu'alam bi ash shawab
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” ( Al-Baqarah[2]:229 )
Berpikir positiflah manakala cinta tak berbalas. Belum tentu kita memperoleh kebahagiaan bila hidup bersamanya. Apa yang kita pandang baik secara kasat mata, belum tentu berbuah

kebaikan di kemudian hari.
Adakalanya keinginan untuk hidup bersama orang yang kita idamkan begitu menggoda. Tapi bila ternyata cinta kita bertepuk sebelah tangan, untuk apa semua kita pikirkan lagi? Allah Maha Pangatur, ia pasti akan mempertemukan kita dengan orang yang memberikan kebahagiaan seperti yang kita angankan. Bahkan mungkin lebih dari yang kita harapkan.
Be positive thinking, suatu hari kelak ketika antum telah menikah dengan orang lain –bukan dengan si dia yang antum idamkan- niscaya antum takjub dengan kebahagiaan yang antum rasakan. Percayalah banyak orang yang telah merasakan hal demikian.

‘Saya tak mungkin berbahagia tanpanya'
ini adalah perangkap, ia akan memenjarakan kita terus menerus dalam kekecewaan. Perasaan ini juga menghambat kita untuk mendapatkan kesempatan berbahagia dengan orang lain. Mereka yang terus menerus mengingat orang yang pernah menolaknya, dan masih terbius dengan angan-angannya sebenarnya tengah menyiksa perasaan mereka sendiri dan menutup peluang untuk bahagia.
Mari berpikir jernih, untuk apa memikirkan orang lain yang sudah menjalani kehidupannya sendiri? Jangan biarkan orang lain membatalkan kebahagiaan kita. Diri kitalah yang bisa menciptakannya sendiri. Untuk itu tanamkan optimisme dan keyakinan terhadap qadla Allah SWT. Insya Allah, akan ada orang yang membahagiakan kita kelak.

Cinta membutuhkan waktu
“maukah ukhti menjadi istri saya? Saya tunggu jawaban ukhti dalam waktu 1 X 24 jam!” Masya Allah, cinta bukanlah martabak telor yang bisa di tunggu waktu matangnya. Ia berproses, apalagi berbicara rumah tangga, pastinya banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan. Ada unsur keluarga yang harus berperan. Selain juga ada pilihan-pilihan yang mungkin bisa diambil.
Jadi harap dipahami bila kesempatan datangnya cinta itu menunggu waktu. Seorang akhwat yang akan dilamar –contoh extrim pada kasus diatas- bisa jadi tidak serta merta menjawab. Biarkanlah ia berpikir dengan jernih sampai akhirnya ia melahirkan keputusan. Jadi cara berpikir seperti di atas sebenarnya lebih cocok dimiliki anggota tim SWAT ketimbang orang yang berkhitbah

Ideal bagus, Tapi realistik adalah sempurna
“Suami yang saya dambakan adalah yang bertanggungjawab pada keluarga, giat berdakwah dan rajin beribadah, cerdas serta pengertian, penyayang, humoris, mapan dan juga tampan.” Itu mungkin suami dambaan Anda duhai Ukhti . tapi jangan marah bila saya katakan bahwa seandainya kriteria itu adalah harga mati yang tak tertawar, maka yang ukhti butuhkan bukanlah seorang ikhwan melainkan kitab-kitab pembinaan. Kenyataannya tidak ada satupun lelaki didunia ini yang bisa memenuhi semua keinginan kita. Ada yang mapan tapi kurang rupawan, ada yang rajin beribadah tapi kurang mapan, ada yang giat dakwah dakwah tapi selalu merasa benar sendiri, dsb.
Ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki kriteria bagi calon suami/istri kita, lantas membuat kita mengubah prinsip menjadi ‘yang penting akhwat” atau “yang penting ikhwan”. Tapi realistislah, setiap menusia punya kekurangan – sekaligus kelebihan. Mereka yang menikah adalah orang-orang yang berani menerima kekurangan pasangannya, bukan orang-orang yang sempurna. Tapi berpikir realistis terhadap orang yang akan melamar kita, atau yang akan kita lamar, adalah kesempurnaan
Maka doa kita kepada Allah bukanlah,”berikanlah padaku pasangan yang sempurna” tetapi “ya Allah, karuniakanlah padaku pasangan yang baik bagi agamaku dan duniaku.”

Kekuatan Ruhiyah
Percaya diri itu harus, tapi overselfconfidence adalah kesalahan. Jangan terlalu percaya diri akhi bahwa lamaran antum diterima. Jangan juga terlalu yakin ukhti, bahwa sang pujaan akan datang ke rumah anti. Perjodohan adalah perkara gaib. Tanpa ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan berjodoh. Cinta dan berjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik. Bukan karena ukhti cantik maka para ikhwan menyukai ukhti. Juga bukan karena akhi seorang hamalatud da'wah lalu setiap akhwat mendambakannya.
Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan orang lain menurut persepsi kita. Bukankah sering kita melihat seseorang yang menurut kita “luar biasa” berjodoh dengan yang ‘biasa-biasa'. Seperti seringnya kita melihat pasangan yang ganteng dan cantik, populer tapi kemudian berpisah. Inilah rahasia cinta dan perjodohan, tidak bisa terukur dengan ukuran-ukuran manusia
Maka landasilah rasa percaya diri kita dengan sikap tawakal kepada Allah. Kita berserah diri kepadaNya akan keputusan yang ia berikan. Jauhilah sikap takkabur dan sombong. Karena itu semua hanya akan membuat diri kita rendah dihadapan Allah dan orang lain. Intinya saya bermaksud mengatakan ‘jangan ke-ge-er-an' dengan segala title dan atribut yang melekat pada diri kita.

Beri cinta kesempata (lagi)
“..........dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” ( QS. Yusuf[12]:87 )
bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan hati wajar adanya. Tapi bukan alasan untuk menyurutkan langkah berumah tangga. Dunia ini luas, demikian pula dengan orang-orang yang mencintai kita. Kegagalan cinta bukan berarti kita tidak berhak bahagia atau tidak bisa meraih kebahagiaan. Bila hari ini Allah belum mempertemukan kita dengan orang yang kita cintai, insyaAllah ia akan datang esok atau lusa, atau kapanpun ia menghendaki, itu adalah bagian dari kekuasaanNya
cinta juga berproses. Ia membutuhkan waktu. Ia bisa datang dengan cepat tak terduga atau mungkin tidak seperti yang kita harapkan. Ada orang yang dengan cepat berumah tangga, tapi ada pula yang merasakan segalanya berjalan lambat, namun tidak pernah ada kata terlambat untuk merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Beri kesempatan diri kita untuk kembali merasakan kehangatan cinta. ‘ love is knocking outside the door.' Kata musisi Tesla dalam senandung love will find a way. Tidak pernah ada kata menyerah untuk meraih kebahagiaan dalam naungan ridhoNya. Yang pokok, ikhwan atau akhwat yang kelak akan menjadi pasangan kita adalah mereka yang dirihoi agamanya.

Menjadi Kekasih Allah

Sebuah Keniscayaan
Bicara tentang kekasih, identik dengan berbicara tentang cinta. Sesuatu yang dicintai dan dikasihi, dimakhlumi sebagai kekasih. Nabiyullah Ibrahim mendapat julukan Kholilullah (Kekasih Allah), artinya beliau mendapatkan cinta dan kasih sayang-Nya. Cinta yang hakiki-murni-sejati adalah cinta pada Dia, Dzat Maha Suci yang secara realitas telah memberi segala yang kita rasakan sekarang. Cinta hakiki adalah cinta pada dzat yang mencintai kita.
Betapa tidak, hanya dialah yang memberikan segalanya pada kita. Tengok saja segala yang kita miliki, semuanya berasal dari Allah SWT. Semua yang kita gunakan adalah milik-Nya, lalu atas dasar kasih-Nya Dia mengijinkan kita untuk menggunakan semua itu. Hakekatnya, badan, tanah, rumah, kendaraan, kekayaan, jabatan dan segala hal yang kita gunakan bukanlah milik hakiki kita. Itu adalah milik Allah SWT yang atas cinta-Nya dibolehkan untuk kita gunakan sehingga menjadi ‘milik' kita didunia. Bukti konkret bahwa semua itu bukan milik hakiki kita, hanya ‘milik' sementara saja, adalah ketika siapapun meninggal maka semua itu tidak dibawanya. Badan hancur lebur dimakan bakteri; tanah, rumah, kendaraan, dan kekayaan tidak ikut dikubur, semuanya diwariskan. Jabatan juga hanya tinggal sebutan. Satu-satunya jabatan yang melekat adalah : MAYAT

Semua yang kita punya berasal dari Allah SWT. Saya percaya, anda pernah berpikir mengapa anda dapat membaca buku ini ? sebab, anda punya energi yang diolah dari makanan beserta indera yang dimiliki. Padahal, proses terbentuknya energi dari makanan itu melalui suatu proses metabolisme yang canggih. Siapakah yang menjadikan proses metabolisme sejak lahir dalam diri kita ? kitakah? Bukan! Allah SWT. Dengan penuh cinta memberikannya kepada kita sejak bayi. Tanpa metabolisme, kita tak berdaya apa-apa. Organ tubuh kita dengan fungsinya masing-masing, kitakah yang membuatnya? Tentu, bukan! Allah SWT. Menciptakannya untuk kita gunakan. Kita makan nasi, siapakah yang membuat padinya? Petani ? kita, tentu, akan mengatakan : “bukan, petani hanyalah menanam”. Allah SWT. Memang sengaja menciptakan padi untuk kita makan. Dia telah berjanji memberi rizki pada setiap makhluknya. Pakaian yang kita kenakan berasal dari benang, dan benang berasal dari kapas, siapakah yang menjadikan pohon kapas? Bukan siapapun melainkan Allah SWT. Setiap apapun yang kita gunakan, terang sekali ciptakan Allah SWT. Tak ada sesuatu apapun yang kita miliki dan gunakan kecuali berasal dari Allah Dzat Maha Sayang. Kita tak punya daya dan upaya tanpa Allah SWT, la hawla wa la quwwata illa billah . Semua itu merupakan wujud sifat kasih sayang Allah SWT ( Ar rahman ) yang dia berikan kepada kita.
Realitas menunujukkan tidak ada siapapun yang mencintai kita memberi segala yang kita punyai dan kita butuhkan selain Allah Pencipta kita. Kecintaan Allah SWT. Nampak begitu nyata. Bila demikian, maka sangat rasional bila saya, anda, dan siapapun ingin menjadi kekasih-Nya. Ingin menumpahkan cinta kita kepada-Nya. Kehendak menjadi kekasih Allah SWT. Dan mencurahkan kecintaan kepada-Nya sungguh merupakan keniscayaan bagi mereka yang menyadari sebagai hamba Allah Dzat Maha Pemberi.

Wujud Nyata
Wujud cinta tersebut umumnya teraplikasi setidaknya dalam tiga bentuk. Pertama, lebih mementingkan perintah kekasihnya dari pada perintah yang lain; kedua, lebih mementingkan pertemuan dengan kekasihnya dibanding dengan yang lain; dan ketiga, lebih mementingkan mendapat keridhoan kekasihnya dari pada mendapatkan keridhoan yang lainnya. Karenanya, untuk mengecek apakah kita sudah menjadikan Allah SWT sebagai kekasih sejati atau belum mestinya kita mengecek sudahkah kita selalu taat pada perintah-Nya ? sudahkah selalu ingin bertemu dengan-Nya dalam peribadatan? Sudahkah mengharapkan keridhoan hanya dari-Nya? Kepada hukum Allah ataukah hukum thaghut? Jika jawabannya belum, maka tidak salah bila saat ini nurani anda bergumam: “hipokrit engkau wahai jiwaku!” sekalipun demikian, sampai sekarangpun belum terlambat untuk menjadikan-Nya al-Mahbub (yang dicintai). Yakinlah, kita dapat menjadi kekasih-Nya hingga nama kita senantiasa disebut-sebut di kalangan para malaikat.
Satu hal yang penting dicatat, tidak mungkin Allah SWT menyayangi dan mengasihi kita dalam keridhoan-Nya bila kita sendiri tidak mencintai-Nya. Inilah kiat pertama yang mutlak dilakukan:” Jadikanlah Allah sebagai kekasih kita, niscaya kita akan menjadi kekasih-Nya”. Katakanlah:”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . Begitu firman Allah SWT dalam surat Ali ‘Imron [3] ayat 31.
Seorang muslim, apalagi pengemban dakwah, sudah sepatutnyalah menjadikan cinta tertingginya untuk Allah SWT. Karena dia adalah penyebar ajaran-ajaran-Nya. Dengan demikian ia akan menjadi uswah dan qudwah bagi masyarakat obyek dakwahnya. Sulit dibayangkan seseorang mengajak orang lain untuk mencintai Allah SWT bila dia yang mengajaknya tidak menjadikan Allah SWT sebagai kekasihnya. Jadi, keimanan dan tanggung jawab ini akan mendorong setiap mukmin pengemban dakwah terus berusaha untuk mencintai sekaligus dicintai oleh Allah. Demikian pula muslim pada umumnya.

Langkah Menjadi Kekasih-Nya
Siapapun yang men- tadabburi kalamullah, akan menemukan beberapa sifat yang harus dimiliki agar menjadi hamba yang dicintai Khaliq- nya. Beberapa karakteristik tersebut diantaranya :

1. Beriman
Adanya iman pada seseorang, merupakan syarat mutlak bagi hamba yang berhasrat dicintai Allah. Tanpa ini, jangan harap ada cinta dari-Nya. pada ayat 18 al-Fath, yang memberikan gambaran baiatur Ridwan, Allah menjelaskan hal tersebut. Seorang mukmin, terlebih-lebih para pengemban dakwah betul-betul memiliki keimanan yang mantap disertai dengan pembuktiannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia senantiasa bergetar hatinya apabila disebut nama Allah (artinya disebut ayat-ayat Allah) sebagai lambang kerinduan kepada-Nya, bahkan iapun berusaha selalu memahami ayat-ayat Allah dengan mendalam sehingga keimanannya makin bertambah setiap dibacakan ayat-ayat-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman (orang yang sempurna imannya) itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal.” ( Qs. Al-Anfaal [8]:2 )
penampakan keimanan yang lainnya, ia senantiasa khusyu' dalam sholatnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
“ (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” ( Qs. Al-Mukminuun[23] : 2 )
saat melakukan sholat, pikirannya tertuju pada makna bacaan, lidahnya membaca dan hatinya menghayati apa yang dibacanya itu. Ia dapat khusyu' seperti ini karena betul-betul meyakini akan pertemuannya dengan Allah dan ia pun yakin bahwa ia pasti akan kembali dan bertemu dengan-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“ (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” ( Qs. Al-Baqarah [2] : 46 )
Keimanan yang seperti ini akan juga membuahkan amal-amal yang menjauhkan diri dari perkataan yang tidak berguna. Sebagaimana firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” ( Qs. Al-Mukminuun[23]:3 )
Demikian pula ia mengeluarkan zakat, menjaga arji- nya dari berzina, selalu memegang teguh dan menyampaikan amanat, menepati janji, dan selalu menjaga sholatnya agar tidak terbengkalai. Sebagaimana firman Allah SWT :
Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan sembahyangnya.”( Qs. Al-Mukminun [23]:4-9 )
Dalam kitab Nashooihul ‘Ibad, Ibnu Hajar al-Atsqolani mengutip sebuah hadist Rasulullah SAW yang berkaitan dengan tanda-tanda keimanan :
“Suatu hari Rasulullah berjumpa dengan beberapa sahabat, beliau bertanya: ‘Apa kabar kalian pagi ini?' mereka menjawab: ‘kami tetap beriman kepada Allah.' Apa tanda iman kalian?' tanyanya, mereka pun menjawab: ‘kami tabah menghadapi cobaan, bersyukur atas kehidupan yang enak dan kami ridho kepada ketentuan Allah SWT.' Mendengar jawaban itu beliau bersabda: “Demi Rabb penguasa ka'bah, kalian benar-benar beriman.”

2. Bertaqwa
Allah SWT berfirman :
(Bukan demikian) sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertaqwa maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” ( Qs. Ali Imron [3] :76 )
Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram (perjanjian Hudaibiyah) ? maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” ( Qs. At-Taubah [9]:7 )
Para ulama mendefinisikan taqwa sebagai melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, seorang pengemban dakwah akan senantiasa memaksa dan memacu dirinya untuk terikat dengan seluruh aturan Allah SWT (syariat Islam) dalam setiap keadaan apapun. Sebagaimana sabda Rasul SAW:
Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada.” ( HR. Tirmidzi )
taqwa tidak melekat begitu saja pada seseorang. Ia lebih merupakan suatu hasil kerja terus menerus dengan amal Islami. Karenanya, taqwa perlu dibina, disuburkan dan diistiqamahkan. Kehidupan duniawi laksana seseorang yang mengendarai kuda. Bila lalai mengatur kendalinya, tak tahu kuda lari kemana dan kita bernasib bagaimana. Yang jelas kita akan tersesat dalam kondisi sesesat-sesatnya. Dalam hidup di dunia, taqwa itulah kendalinya.
Sayidina Utsman bin Affan ra pernah mengungkap lima hal penting sebagai wujud taqwa pada seseorang yaitu : suka bergaul dengan orang yang baik dalam agamanya serta dapat mengekang nafsu syahwat dan lisannya; bila ditimpah musibah keduniaan yang besar dia menganggapnya sebagai ujian; bila ditimpah urusan kecil mengenai keagamaan dia merasa untung karenanya; tidak menjejali perutnya walaupun dengan makanan yang halal karena takut tercampur dengan barang haram; dan pada pandangannya orang lain sudah berhasil membersihkan dirinya sedangkan dirinya merasa masih kotor.”

3. Berbuat Ihsan
Al Fadhil Ibn ‘Iyadh berkata : “Sesungguhnya sesuatu perbuatan apabila benar tetapi tidak ikhlas maka amal itu tidak diterima. Demikian pula apabila dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar (showab) maka amal itupun tidak diterima, jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas artinya hanya karena Allah, dan benar artinya sesuai dengan sunnah Rasul Allah SAW.
Dengan demikian dengan dua syarat tadi mudahlah mengukur amal kita, termasuk amal yang ihsan (baik) atau tidak
Berkaitan dengan seruan berbuat baik, Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya :
Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik.” ( Qs. Al-Baqarah [2]: 195 )
Menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” ( Qs. Ali Imron [3] : 134 )
Selain itu, disaat melakukan suatu perbuatan tujuannya harus betul-betul dalam rangka beribadah kepada Allah SWT; dengan seakan-akan kita melihat-Nya dan apabila kita tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kita. Inilah definisi ihsan dalam beribadah menurut Rasul SAW yang tercantum dalam sebuah hadist riwayat Imam Muslim. Apabila kita sudah bersikap seperti ini (ihsan) niscaya dalam setiap melakukan perbuatan akan selalu ikhlas dan benar.
Banyak sekali amal kebaikan yang dapat dilakukan, baik yang berhubungan dengan Allah seperti sholat, membaca Al qur'an, shaum, berhubungan dengan diri sendiri seperti berakhlakul karimah, berpakaian rapi, menjaga diri dari makanan haram, ataupun berhubungan dengan sesama manusia dalam bermuamalah dan uqubat.
Jangan sekali-kali menganggap remeh suatu amal kebaikan. Sekecil apapun lakukanlah perbuatan baik tersebut, tinggalkanlah perbuatan dosa. Ingat pula, jangan menunda-nunda amal ! Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata: “ jika engkau di waktu sore janganlah engkau menunggu pagi, dan jika engkau di waktu pagi janganlah engkau menunggu sore. Pergunakanlah sehatmu untuk beramal sebelum sakit, dan pergunakanlah hidupmu sebelum mati.”
Sementar itu, Khalifah Ali Karamaallahu Wajhah berpesan ; “ jadilah kamu sebaik-baik manusia disisi Allah dan anggaplah kamu sejelek-jelek manusia menurut dirimu sendiri dan jadilah kamu orang yang berguna di Masyarakat.”

4. Selalu Sabar
Seperti halnya dalam kehidupan yang lain, dalam medan da'wah pun tidak luput dari tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan. Semua itu pada hakekatnya merupakan ujian. Maka sabar merupakan pakaian para pengemban dakwah dimanapun berada dan kondisi apapun yang tengah dihadapinya. Sabar tidaklah harus berarti berdiam diri melainkan harus berusaha juga sekuat tenaga untuk menghadapinya. Mereka yang tidak sabar termasuk orang yang merugi, ia akan cepat frustasi, marah-marah, stress, bahkan bisa jadi menyalahkan Allah SWT. Naudzu billahi min dzalik. Sabar bukanlah paket yang disediakan secara Inheren dalam penciptaan manusia. Sabar hanya akan ada pada mereka yang mengupayakannya. Anda dapat sabar ataukah tidak, terserah pilihan anda. Begitu pula saya atau dia. Bagi kita yang hendak menanam kesabaran diri ada beberapa pengalaman yang dapat dijadikan cermin untuk meraihnya upaya tersebut antara lain :
Pertama, pahamilah bahwa hidup ini adalah ujian. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan hidup dan mati itu merupakan ujian bagi seluruh hamba-Nya (Al-Muluk:2). Berbagai bentuk ujian akan senantiasa mengiringi kehidupan seorang muslim. Apakah itu berupa ketakutan, rasa lapar, dan kekurangan harta (Al-Baqarah:155) namun ada juga berupa perkara yang baik-baik (Al-Anfal:17). Ujian akan berakhir dengan tibanya ajal. Siapa yang siap hidup harus siap menghadapi ujian.
Kedua, sadarilah bahwa seluruh ujian yang ada, sekaligus sebagai pengecek kekuatan iman seseorang (Al-Ankabut:2). Semakin kuat keimanan seseorang maka semakin banyak dan berat juga ujian hidup yang akan dialaminya. Justru, bagi seorang muslim yang mengaku beriman tetapi belum pernah diuji, mestinya bertanya pada dirinya sudah sejauh manakah kadar keimanannya. Ada seorang teman pernah ketakutan, “saya mah justru tidak akan tebal iman dan banyak taat, sebab nanti akan banyak ujian. Saya takut tidak tahan, saya tidak akan sabar menghadapi ujian, apalagi makin tinggi iman maka ujian pun semakin sulit,” ungkapnya kepada saya. Saat itu saya tidak banyak memberikan komentar. Saya hanya bercerita kepadanya. Dulu, ada orang yang mengatakan kepada saya saat masih SD bahwa ujian di SMP itu sulit. Kesulitannya jauh dibandingkan dengan ujian SD, demikian pula ujian SMU. Wah, sulit sekali, tambahnya, kesulitannya tidak bisa dibayangkan oleh tingkatan SD. Apalagi di Perguruan tinggi. “Wah, apalagi pada waktu sidang skripsi. Susah bukan main. Mana dosennya sering kali sulit ditemui, lagi”. Dan, kelak bila melanjutkan S2 lebih sulit Lagi. Bagaimana sikap anda terhadap cerita ini ? saya percaya, kita tidak akan menyimpulkan:”Wah, dari pada mendapat ujian sulit lebih baik sekolah cukup sampai SD saja. Tidak perlu SMP, apalagi SMU atau sarjana.” Benar, makin tinggi tngkat pendidikan, makin sukar ujian. Tapi, buktinya, toh tetap juga dapat dilalui dengan baik. Persoalan ujian yang berkolerasi erat dengan keimanan pun demikian. Semakin tinggi keimanan seseorang, akan semakin deras ujiannya, dan yakinlah, dia akan semakin memiliki kemampuan dan kesabaran untuk mengunggulinya seiring dengan meningginya keimanan dan ketaatan.
Ketiga, sabar itu merupakan salah satu tanda keberhasilan (Al-Imron:200). Betapa banyak kaum terdahulu yang terbinasa karena ketidak sabarannya. Orang yang tidak sabar akan suatu perkara sebenarnya telah kehilangan kesempatan untuk mengungguli perkara tersebut.
Keempat, sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang sabar (Al-Imron:146)
Memang kesabaran bukanlah perkara yang mudah. Sebab, kesabaran memerlukan ketulusan dan kesungguhan tingkat tinggi. Agar berhasil memilikinya, biasakanlah dan perbanyaklah do'a: artinya “ Ya Rabb kami, curahkanlah kesabaran kepada kami, dan matikanlah kami dalam keadaan muslim.” ( Qs. AL-A'raf:222 )

5. Tawakkal
Satu ciri lain orang yang dicintai Allah SWT adalah orang yang tawakkal. Kaum mukminin di perintahkan untuk menyerahkan segala urusannya (tawakkal) hanya kepada Allah SWT (Ali-Imron:122; Al-Maidah:11). Sebelum melakukan segala sesuatu, kita harus menyerahkan segala macam urusan kita kepada Allah SWT. Jadi bukan berusaha lalu bertawakkal kepada Allah SWT dalam setiap urusan jauh-jauh sebelumnya baru berusaha menghadapi sekuat tenaga

6. Mencintai Allah SWT
Agar kita dicintai Allah SWT, kita harus mencintai-Nya. Wujud cinta kepada Allah adalah cinta kepada sesama muslim dan keras kepada orang kafir (bukan sebaliknya), siap berjihad, dan tidak takut terhadap selaan orang yang mencela. Demikian disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 54. mencintai Allah SWT dilakukan dengan cara mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW dalam segala peri kehidupannya (Ali-Imron:31). Lembut terhadap sesama muslim dilakukan dengan cara mencintai mereka sebagaimana mencintai diri kita sendiri, tidak menyakitinya, tidak mendzaliminya, tidak mengganggu hartanya dan memelihara kehormatannya, sedangkan keras terhadap orang kafir, terutama dalam hal-hal yang menyangkut hukum islam. Tidak ada toleransi dalam beragama, yang ada kerukunan antar umat umat beragama dibawah nauangan kehidupan Islam, dimana Islamlah yang berkuasa dibumi ini. Adapun jihad merupakan perang untuk meninggikan kalimat Allah SWT. Seorang pengemban dakwah harus merelakan dirinya untuk mati fi sabilillah karena diri orang mukmin telah dibeli oleh Allah SWT (At-Taubah:111). Demikian pula sang istri harus ridho melepas suami dan anak-anaknya kemedan pertempuran demi tegaknya dinul Islam saat kaum imperalis menggunakan senjata untuk memporakporandakan Islam, umat dan negeri-negerinya. Selain itu, Pengemban da'wah harus tahan terhadap celaan yang dilontarkan kepadanya karena celaan itu sebenarnya muncul dari orang-orang yang tidak suka kepada Islam

7. Bertaubat, membersihkan diri dan jiwa
Taubat harus menjadikan kebiasaan sehari-hari (At-Taubah:112) suatu kebahagiaan bila kita terbiasa taubat seperti terbiasanya sarapan. Taubat pun bukan hanya sesaat melainkan harus dilakukan dengan benar-benar sehingga menjadi taubatan nasuha (At-Tahrim:8). Setidaknya, agar terwujud taubatan nasuha, seorang Muslim harus menyesali perbuatan dosanya, memohon ampunan kepada Allah SWT dan berniat sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya. Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, dalam Minhajul ‘Abidin menjelaskan bahwa pembersihan dosa seseorang, tergantung kepada jenis dosa tersebut. Pertama, bila kesalahan tersebut karena kelalaian atas kewajiban dari Allah SWT, maka ia harus beristighfar dan berusaha mengqada segala kelalaiannya itu. Kedua, bila dosa itu terhadap sesama manusia, maka ia harus berusaha sekuat tenaga untuk meminta kemanfaatan dan keridhaan orang tersebut. Ketiga, bila dosa tersebut karena kedzaliman diri sendiri (tidak berhubungan dengan orang lain) maka ia harus memperbanyak amal shalih agar kelak, amalan buruknya akan terkalahkan banyaknya oleh amal shalehnya.
Rasulullah yang ma'sum, tidak kurang dari tujuh puluh kali sehari bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT. Bagaimana dengan kita yang penuh dosa dan tidak dilindungi dari kesalahan ?
Renungan
Itulah beberapa hal yang dapat membimbing kita untuk menjadi kekasih Allah SWT. Siapapun yang telah mencurahkan cintanya kepada Allah SWT dan berhasil menjadi kekasih-Nya, niscaya hasilnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Ini adalah janji Allah SWT yang disampaikan oleh Nabi SAW.
Suatu waktu Rasulullah SAW bersabda bahwasannya Allah Ta'ala berfirman :” Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka aku menyatakan perang kepadanya. Sesuatu yang paling kusukai dari apa yang dikerjakan oleh hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku adalah bila ia mengerjakan oleh apa yang telah Kuwajibkan kepadanya. Seseorang itu akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan kesunatan-kesunatan sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku merupakan pendengaran yang ia pergunakan untuk mendengarnya, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihatnya, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerangnya, dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan `untuk berjalan. Seandainya ia bermohon kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkannya dan seandainya ia berlindung diri kepada-ku paasti aku akan melindunginya.” ( HR.Bkuhari )
Semoga kita diberi kemudahan untuk menjadi kekasih Allah Pencipta Alam

Mereka Takut Al-Quran ?

SPESIALIS penakluk tesis kaum orientalis. Predikat itu tepat disematkan pada sosok Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-A'zami, 73 tahun, guru besar ilmu hadis Universitas King Saud, Riyadh, Arab Saudi. Popularitas A'zami mungkin tidak setenar Dr. Yusuf Qardlawi dan ulama fatwa (mufti) lainnya. Namun kontribusi ilmiahnya sungguh spektakuler.

Sumbangan penting A'zami terutama dalam ilmu hadis. Disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris, ''Studies in Early Hadith Literature'' (1966), secara akademik mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969), tentang hadis. Riset Goldziher (1890) berkesimpulan bahwa kebenaran hadis sebagai ucapan Nabi Muhammad SAW tidak terbukti secara ilmiah. Hadis hanyalah bikinan umat Islam abad kedua Hijriah.

>Pikiran pengkaji Islam asal Hongaria itu jadi pijakan banyak orientalis lain, termasuk Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat kolonial Belanda. Tahun 1960, tesis Goldziher diperkuat Joseph Schacht, profesor asal Jerman, dengan teori "proyeksi ke belakang". Hadis, kata Schacht, dibentuk para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka. Lalu disusunlah rantai periwayatnya ke belakang hingga masa Nabi.


Namun belum ada sanggahan telak atas pikiran Goldziher-Schacht dengan standar ilmiah, selain disertasi A'zami. "Cukup mengherankan," tulis Abdurrahman Wahid saat pertama mempromosikan A'zami di Indonesia tahun 1972, "hanya dalam sebuah disertasi ia berhasil memberi sumbangan demikian fundamental bagi penyelidikan hadis." Gus Dur menyampaikan itu dalam Dies Natalis Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang, tak lama setelah pulang kuliah dari Baghdad.

Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul otentik dari Nabi. A'zami secara khusus juga menulis kritik tuntas atas karya monumental Joseph Schacht, judulnya On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence. Versi Indonesia, buku ini dan disertasi A'zami sudah beredar luas di Tanah Air. Murid A'zami di Indonesia, Prof. Ali Mustafa Yaqub, berperan banyak memopulerkan pikiran ulama kelahiran India itu.

Ali Mustafa membandingkan jasa A'zami dengan Imam Syafi'i (w. 204 H). Syafi'i pernah dijuluki "pembela sunah" oleh penduduk Mekkah karena berhasil mematahkan argumen pengingkar sunah --sebutan lain hadis. "Pada masa kini," kata Ali Mustafa, "Prof. A'zami pantas dijuluki 'pembela eksistensi hadis' karena berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis berasal dari Nabi."

Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan A'zami merambah bidang studi lain: Al-Quran. Namun inti kajiannya sama: menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Ia menulis buku The History of The Qur'anic Text (2003), yang juga berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. "Ini karya pertama saya tentang Al-Quran," kata peraih Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam tahun 1980 itu.

Sabtu pekan lalu, A'zami meluncurkan versi Indonesia buku itu dalam Pameran Buku Islam di Istora, Senayan Jakarta. Gus Dur, yang mengaku pengagum A'zami, bertindak sebagai panelis bersama pakar Quran dan hadis lainnya. Prof. Kamal Hasan, dalam pengantar buku itu, menilai karya A'zami ini relevan untuk meng-counter maraknya buku Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Mohammad Arkoun di Indonesia.

Kamal menyebut mereka sebagai "pengikut jejak orientalis". Tetapi Hanafi dan Abu Zayd juga dipromosikan Gus Dur di Indonesia, seperti halnya A'zami. Dua kutub kajian ini tampaknya perlu dibaca bersama. Wartawan Gatra Asrori S. Karni, Luqman Hakim Arifin, dan Nordin Hidayat, Ahad lalu, bertemu A'zami di Hotel Sahid Jakarta. Berikut petikan percakapan mereka:

Apa yang mendorong Anda menggeser objek studi dari hadis ke Al-Quran?
Al-Quran dan hadis keduanya pegangan penting seorang muslim. Keduanya sama-sama berasal dari Allah SWT. Selain itu, kini orang-orang Barat, para orientalis, banyak mengkaji Al-Quran sekehendak mereka. Mereka begitu ketakutan pada Al-Quran. Bagi mereka, Al-Quran seperti bom. Karena itu, mereka ingin ada proses peraguan (tasykik) atas kebenaran Al-Quran.

Studi orientalis generasi lama memang antipati pada Islam. Namun ada penilaian, arah kajian mereka akhir-akhir ini makin membaik: makin apresiatif dan empati pada Islam.

Apanya yang membaik? Bila Anda hendak menyimpulkan, jangan dari fakta parsial. Anda harus menyimpulkan dari keseluruhan fakta. Masih ada orientalis yang menulis sejarah Nabi dan mengatakan bahwa musuh terbesar manusia di dunia adalah Muhammad, Al-Quran, dan pedangnya Muhammad.

Dan problem mendasar kajian orientalis, mereka memulai kajiannya dengan tidak mempercayai Nabi Muhammad. Kita mengatakan, Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah. Menurut mereka, itu bohong besar. Jadi, mereka mengawali pembahasan dengan dasar pikiran bahwa Muhammad adalah pembohong, bukan rasul sebenarnya.

Mungkinkah mengkaji Islam semata-mata untuk tujuan studi, tanpa tujuan dan bekal keimanan, sebagaimana kaum orientalis?
Tidak mungkin. Agama apa saja, pada kenyataannya, sulit sekali mengkajinya tanpa keimanan. Kita lebih mudah mengkaji dan memahami Yahudi dan Kristen, karena kita percaya dan menghormati Musa, Harun, Maryam, dan Isa. Sementara orang Yahudi dan Nasrani tidak bisa memahami Islam, karena mereka mendustakan dan tak beriman pada Muhammad.

Bila Anda baca tulisan orang Yahudi tentang Isa dan Maryam, Anda akan temukan ungkapan mereka sangat kotor dan menjijikkan. Ada yang menuding Isa telah berzina tiga kali. Kalau penulisnya muslim, tidak mungkin bilang begitu. Haram! Karena kita memuliakan para nabi terdahulu. Persoalannya, berapa banyak orang Islam yang mau mengkaji lebih jauh tentang keyakinan Yahudi dan Nasrani? Sedangkan mereka sangat intens melakukan kajian tentang Islam.

Benarkah buku Anda sebagai counter atas corak kajian Al-Quran ala pemikir semacam Hassan Hanafi, Abu Zayd, dan Arkoun yang populer di Indonesia?
Ini bukan counter langsung. Tapi ada hal penting yang harus digarisbawahi di sini bahwa otoritas menafsirkan Al-Quran ada di tangan Rasulullah. Kita percaya, Al-Quran berasal dari Allah dan diturunkan pada Muhammad. Allah berfirman, "Dan kami turunkan Al-Quran pada kamu agar kamu jelaskan pada manusia." Sama saja, bila ada problem konstitusi di Indonesia, misalnya, maka yang berwenang membuat interpretasi adalah para hakim Indonesia. Meski meraih gelar doktor di Universitas Cambridge, saya tidak punya otoritas menyelesaikan problem konstitusi di Indonesia.

Jadi, kalau ada orang berpikir liberal, lalu menafsirkan perintah salat dalam Al-Quran semaunya, tidak mengindahkan tuntunan Rasul sebagai penafsir yang mendapat mandat dari Allah, maka saya katakan, "Siapa Anda? Siapa yang memberi Anda otoritas membuat tafsir sendiri?" Orang-orang seperti Hassan Hanafi dan Abu Zayd itu adalah "anak-cucu" Barat. Tak perlu meng-counter langsung mereka. Kecuali kalau terpaksa. Saya sebenarnya tidak peduli pada pemikiran-pemikiran mereka. Saya ingin membentuk pandangan saya sendiri.

Dalam pandangan Anda, apa yang membuat beberapa pemikir muslim menyerap pengaruh Barat? Tidakkah karena kekuatan argumentasi Barat?
Persoalan pokok sebenarnya adalah soal iman. Dari berbagai informasi, sangat nyata kebanyakan dari mereka adalah fasik (banyak berbuat dosa) dan sedikit sekali yang religius (mutadayyin). Mereka tidak puasa dan tidak salat. Ketika bulan Ramadan, subuh mereka bangun, makan pagi, tapi ketika magrib, ikut berbuka bersama lainnya, malamnya juga ikut sahur, ha, ha, ha....

Hasan Hanafi dan Nasr Abu Zeid misalnya, tidak belajar di sekolah-sekolah Barat. Tapi pemikiran mereka seperti mewakili pemikiran Barat. Mungkinkah?
Tentu. Karena buku-buku kajian mereka berasal dari Barat. Tapi Nasr Abu Zeid pernah belajar secara khusus di Jepang.

Kami pernah mengulas buku Prof. Christhop Luxenberg (nama samaran) yang berkesimpulan, bahasa asli Al-Quran adalah Aramaik, jadi yang beredar sekarang Quran palsu. Komentar Anda?
Ah, dia pemikir bodoh. Beberapa penulis mengomentari bahwa pengetahuannya tentang bahasa Syiriya-Aramaik sangat dangkal. Kata dia, Al-Quran berasal dari bahasa Aramaik, kemudian setelah 100 tahun beralih ke bahasa Arab. Sehingga disebut Quran kondisional. Itu sama sekali bukan kajian ilmiah.

Apakah pemikiran Chistof ilmiah atau tidak?
Tidak. Sama sekali jauh dari pemikiran ilmiah…

Apakah ini merupakan salah satu cara dari para orientalis untuk merusak umat Islam?
Itu nggak ada artinya. Tapi sekarang beberapa kali dan akan berkali-kali, mereka menginginkan bahwa ketika Al-Quran dibuat tidak ada titik dan tasydid. Nah, sekarang mereka menginginkan agar Al-Quran diperbarui dari sisi titik dan tasydid-nya. Lalu, membacanya seperti yang kita kehendaki, memberi tanda-baca baru, dan menjadikannya baru. Al-Quran lalu menjadi Al-Quran sesuai kebutuhan (kondisional).

Apakah mereka juga memiliki kaidah dasar untuk membuat Al-Quran kondisional tersebut?
Kaidahnya ya sekehendak hati mereka. Karena mereka memberi tanda baca sesuai kebutuhan mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran merupakan produk budaya. Apa komentar Anda?
Itu pendapat Nasr Abu Zeid. Tapi apa yang sebenarnya disebut produk budaya? Ini tak ubahnya ketika orang menyebut “terorisme”. Semua berbicara terrorism. Tapi tidak pernah ada satu pun definisi yang muttafaq alaihi tentang terorisme. Terorisme justru kerap dikaitkan dengan Islam. Kita perlu memahami apa pengertiannya dulu.

Dalam hal ini, apakah pengertian produk budaya sama dengan asbabun nuzul (memahami Quran secara kontekstual)?
Tidak (sama). Memahami Quran secara kontekstual bisa dilakukan, jika “sesuatu” mempunyai kaitan dengan asbabun nuzul, tapi tak bisa diterapkan di semua tempat. Kecuali di beberapa tempat khusus yang merupakan sebab turunnya (ayat). Jadi, Anda tak bisa datang dan langsung mengatakan aqiimus shalat. Padahal di sana tidak ada asbabun nuzul, karena di sana adalah amr (perintah). Seharusnya, sebelum itu ada sebab. Allah adalah pencipta seluruh makhluk. Tentunya Dia tahu mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi makhluk-Nya.

Jangan bermain dengan Api! Tidak ada …konteks di sini. Tidak hanya berlaku sekarang tapi selamanya.

Ini wacana yang elit. Apa hal penting dari buku Anda bagi orang-orang awam?
Saya tak bisa mengemukakan sesuatu untuk semua orang. Jadi saya sudah kepikiran untuk menulis buku baru, yang bisa dibaca dan dipahami oleh semua ummat Islam.

Anda pernah belajar dan lulus dari sebuah universitas di Barat. Tapi sikap anda tampak konservatif, dalam arti tidak liberal orang-orang seperti Hassan Hanafi atau Nasr Abu Zeid. Mengapa?
No! Saya kira ini pertanyaan dan persoalan tentang iman. Ha…ha..ha…

Menurut anda, apa yang salah dengan Barat?
Apa yang salah dengan Barat adalah sikap (attitude)-nya.

Apa tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini?
Kitalah sesungguhnya tantangan terbesarnya. Karena kita tidak mempraktekkannya.

Man ghassa falaisa minna. “Barangsiapa yang menipu tidak termasuk golongan kami”. Kalau anda mengambil hadis dan mengujinya di dalam kehidupan (Adzami memberi contoh, bagaimana ia menemukan seorang penjual susu yang menempelkan hadis ini di atas tokonya, tapi ternyata ia menambah air dalam susu yang dijualnya). Meskipun Anda percaya Al-Quran dan Hadis, tapi dalam praktek kehidupan kita kita jauh dari sunnah. Ini salah satu kesulitan kita. Kalau kita menjadi good practicse-nya moslem. Saya tidak bicara tentang Islamisasi ilmu di sini. Tapi saya ingin menegaskan bahwa pengetahuan di Islam masih sangat jauh dari praktek. Islam itu sebenarnya pratek, bukan teori.

Wednesday, June 29, 2011

Mencari Sang Arsitek

Hanya akal-akal raksasa yang tercerahkan wahyu yang siap menjadi pimpinan proyek peradaban kehendak Allah. Di mana mereka sekarang?
Tidak ada peristiwa yang lebih mengharu-biru kaum Muslimin, di sepanjang masa kenabian dan perjuangan Rasulullah Saw, selain saat dimana beliau menyampaikan pidato dalam hajjatul wada'. Itulah haji pertama dan terakhir yang dilaksanakan Rasulullah saw sejak ibadah itu diwajibkan, menurut jumhur ulama, pada tahun keenam hijrah. Karena itu sebagian besar kaum Muslimin menyempatkan diri untuk berhaji tahun itu. Jumlah mereka sekitar 125 ribu orang.
Sementara kaum Muslimin Merasakan kegembiraan mendengar khotbah Rasulullah saw, Abu Bakar justru menangis tersedu-sedu. Ia menangkap dengan jelas isyarat yang tersimpan dalam kalimat-kalimat Rasulullah saw, bahwa masa hidupnya tidak akan lama lagi. Dan benar saja, Rasulullah saw kemudian wafat beberapa saat setelah hajjatul wada' itu. Itu seperti sebuah isyarat bahwa tugas beliau sudah akan selesai sampai disini, tapi cita-cita untuk membawa cahaya Islam kepada seluruh umat manusia belum lagi selesai; dan adalah tugas para sahabat untuk melanjutkan risalah dakwah tersebut.

Kini, setelah lima belas abad kemudian, Islam menjadi fenomena sejarah sebagai sebuah peradaban terbesar yang pernah ada dan masih ada hingga saat ini. Islam tersebar di seluruh pelosok dunia, dari Aljir sampai Jakarta, dengan jumlah pemeluk sekitar 1,3 milyar manusia, atau sekitar seperlima dari total jumlah manusia yang menghuni bumi ini. Apabila Rasulullah saw meninggalkan lebih dari 125 ribu orang, maka dari merekalah sesungguhnya Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia. Tapi dari jumlah itu, sebenarnya sebagian besar mereka masuk ke dalam Islam justru setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun kedelapan hijrah, atau 20 tahun setelah Rasulullah saw menjadi rasul.
Ini berarti bahwa sahabat-sahabat beliau yang mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam dan pembangunan peradaban Islam tidaklah terlalu banyak. Jumlah ulama dari sahabat-sahabat Rasulullah saw dalam catatan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam "I'lamul Muwaqqi'in", hanya kurang dari 110 orang. Dan diantara mereka yang terbesar ada 7 orang, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ali Bin Ali Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud. Sebagian besar ulama dan pemikir Islam yang lahir kemudian, dari kalangan Tabi'in dan Tabi'uttabi'in dan seterusnya, mengambil ilmu dari mereka.
Otak Arsitek
Peradaban selalu bermula dari gagasan. Peradaban-peradaban besar selalu lahir lahir dari gagasan-gagasan besar. Dan gagasan-gagasan besar selalu lahir akal-akal raksasa. Begitulah kejadiannya, jumlah sahabat yang ditinggalkan Rasulullah saw memang sedikit, tapi mereka semua membawa semangat dan kesadaran sebagai pembangun peradaban, dan membawa talenta sebagai arsitek peradaban.
Kesadaran itu terbentuk sejak dini dalam benak mereka. Allah swt telah menciptakan manusia untuk beribadah dan mengelola serta menegakkan khilafah di muka bumi. Dan untuk itu Allah swt memberikan mereka "juklak" (petunjuk laksana) berupa al-Qur'an, dan menurunkan seorang rasul sebagai "komunikator" Allah Swt, sekaligus sebagai pemberi contoh laksana dalam kehidupan nyata.
Sejak awal mereka menyadari bahwa al-Qur'an bukanlah sebuah buku filsafat kehidupan, yang kering dan rumit, atau pikiran-pikiran indah yang tersimpan di menara gading dan tidak mempunyai alas dalam realitas kehidupan. al-Qur'an adalah sebuah "manual" tentang bagaimana seharusnya kita mengelola kehidupan di bumi ini. Bumi adalah ruang kehidupan tempat kita "menurunkan" kehendak-kehendak Allah swt, yang termaktub dalam wahyu, menjadi satuan-satuan realitas dalam kehidupan manusia di muka bumi. Bumi adalah realitas kasat mata yang harus dikelola manusia.
Maka doktrin Al-Qur'an tentang Allah, Rasul, manusia dan kehidupan sejak awal menegaskan sebuah kesadaran yang integral; bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat, dan bahwa misi manusia di dunia ini adalah ibadah, tapi ruangnya adalah bumi. Karena itulah mereka mempunyai kesadaran yang kuat tentang ruang; ruang di mana mereka hidup, ruang yang menjadi wilayah kerja akal mereka, ruang yang menjadi tempat mereka menumpahkan seluruh proses kreatif mereka, yaitu bumi; dan bahwa ada ruang lain yang bukan wilayah kerja mereka, ruang dimana akal mereka tidak akan pernah sanggup menembusnya, ruang yang menjadi hak Allah Swt sendiri untuk menjelaskannya, yaitu ruang kegaiban, yaitu ruang metafisik di mana Allah swt menyimpan hakikat-hakikat besar dalam kehidupan ini, tentang Dzat-Nya sendiri, dunia malaikat, kehidupan akhirat, dan lainnya.
Kesadaran tentang ruang ini telah menanamkan sikap realisme dalam benak mereka, maka mereka bergerak lincah dalam wilayah itu. Proses kreativitas mereka tumpah ruah disini; dalam semangat merealisasikan kehendak-kehendak Allah Swt di muka bumi, dalam semangat memakmurkan dunia, dalam semangat membangun peradaban. Kesadaran tentang ruang sejak awal membuat peran intelektual dan kerja pemikiran mereka terpola dalam kerangka sebagai arsitek peradaban; bumi ini adalah lanskapnya, dan wahyu adalah kehendak-kehendak Sang Pemilik Kehidupan yang harus diolah menjadi sebuah master plan dan maket, darimana kemudian satuan-satuan kerja mengelola bumi menjadi rumah peradaban tempat manusia menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup, dimulai.
Dan begitulah Rasulullah Saw memberikan tamsil, bahwa silsilah nabi dan rasul yang turun ke bumi ini seperti sebuah bangunan dimana setiap nabi atau rasul menyelesaikan satu tahap pekerjaan, hingga tiba saatnya Allah menutup mata rantai kenabian dimana "Aku," kata Rasulullah Saw, "meletakkan batu terakhir."
Ijtihad: Mata Air Peradaban
Dalam konteks kesadaran tentang ruang dan pemilihan peran subjektif sebagai pembangun peradaban, kerangka kerja intelektual manusia Muslim terpola dalam fungsi-fungsi arsitektural dimana mereka bekerja sebagai desainer, sebagai perancang, sebagai pembuat master plan. Dan begitulah kemudian sebuah karya peradaban besar lahir ke bumi; satu milenium lamanya manusia menikmati sejarah mereka yang terindah di bawah naungan Islam. Dalam fungsi arsitektural itulah metafor Iqbal menemukan maknanya; dimana hutan-hutan bumi berubah menjadi taman-taman kehidupan yang indah.
Dalam fungsi arsitektural itu juga akal-akal Muslim tumbuh dengan kemampuan berpikir dan berkreasi yang luar biasa pada semua kategori dan tingkatan kemampuan intelektual manusia; kemampuan memahami (daya serap), kemampuan menganalisa (daya analisis), kemampuan mencipta (daya cipta).
Kemampuan itulah yang misalnya terlihat dalam sejarah ekspansi Islam, khususnya pada masa khulafa rasyidin. Dalam bidang politik, masa ekspansi besar-besar yang terjadi selama 30 tahun masa keempat khulafa rasyidin ini, telah disertai dengan peletakan dasar-dasar ketatanegaraan; bentuk dan sistem pemerintahan yang berorientasi global state tapi bersifat desentralis, sistem pemilihan khalifah, sistem administrasi dan keuangan negara yang berkembang pesat khususnya dalam pengelolaan wilayah-wilayah baru, manajemen konflik, dan lainnya. Dalam bidang keamanan dan geostrategi, selama masa ekspansi besar-besaran ini kita menyaksikan kejeniusan para khulafa dalam pengokohan integrasi teritorial dengan menjadikan jazirah Arab sebagai basis, strategi ekspansi dan taktik perang dalam menghadapi dua kekuatan terbesar, Persi dan Romawi.
Kemampuan akal-akal Muslim juga terlihat dalam perkembangan ijtihad dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Usaha menjaga kemurnian dan keotentikan teks al-Qur'an telah dilakukan melalui pengumpulan dan penulisan mushaf pada masa Abu Bakar, dan standarisasi bacaannya pada masa Utsman bin Affan. Sementara itu, usaha menjaga kemurnian dan keotentikan Sunnah telah melahirkan satu metodologi baru yang tidak ada tandingannya dalam semua peradaban lainnya. Selanjutnya dari kedua sumber itu kemudian lahir berbagai macam ilmu-ilmu keislaman yang struktur dan content yang mandiri dan solid, khususnya ilmu fiqh yang menjadi induk pengetahuan keislaman ketika itu.
Selain perkembangan ilmu-ilmu keislaman, kita juga menyaksikan perkembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya yang bersifat terapan. Misalnya ilmu jiwa yang berkembang secara terapan melalui perkembangan ilmu suluk dan akhlaq. Ilmu politik dan ekonomi yang melalui serangkaian ijtihad politik yang timbul sebagai implikasi dari perluasan wilayah Islam. Ilmu sejarah dan sosial mungkin yang berkembang paling pesat, khususnya setelah pembauran berbagai etnis dan budaya selama masa ekspansi. Bahkan pengalaman panjang dalam jihad dan perang telah diformulasi oleh kaum Muslimin menjadi ilmu strategi dan taktik perang.
Demikian juga dalam bidang teknologi. Teknologi maritim, misalnya, telah berkembang pada masa Utsman bin Affan sejalan kebutuhan jihad untuk menghadapi Romawi yang menguasai teknologi itu. Demikian juga industri militer lainnya yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan jihad. Selain teknologi terapan, ilmu-ilmu eksakta, khususnya dalam bidang fisika dan kedokteran, telah berkembang pesat khususnya setelah kaum Muslimin menemukan dan mengembangkan metodologi empiris, yang hingga kini menjadi sebab perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, justru ketika Romawi menggunakan pendekatan teologi dan filsafat untuk ilmu-ilmu eksakta.
Apa yang ingin ditegaskan disini adalah bahwa, kemampuan akal-akal Muslim tidak hanya pada daya serapnya yang sangat besar terhadap semua jenis ilmu pengetahuan, tapi juga kemampuannya dalam mengkritisi ilmu-ilmu baru yang sampai ke mereka, dan kemudian kemampuannya dalam merekonstruksinya kembali, dan bahkan kemampuannya dalam mencipta ilmu-ilmu baru atau metodologi baru. Dalam konteks itulah kita melihat bagaimana konsep ijtihad dalam Islam telah mewadahi proses kreativitas akal-akal Muslim, dan karenanya, kemudian menjadi mata air peradaban Islam yang tak pernah kering. Akal-akal Muslim itu, dengan kata lain, mampu memahami zamannya, dan sekaligus memberi sesuatu yang kepada zamannya.
Dimanakah Sang Arsitek Itu Kini?
Tapi dimanakah akal-akal besar yang pernah menggoncang peradaban dunia dengan temuan-temuannya itu? Di manakah akal-akal Muslim yang dulu sanggup memahami zamannya dan kemudian memberi sesuatu yang baru bagi zamannya?
Inilah masalah kita. Akal-akal Muslim sekarang, bukan hanya tampak tidak berdaya memahami zamannya, apalagi memberi sesuatu yang baru bagi zamannya, tapi bahkan tidak sanggup memahami dirinya sendiri, tidak sanggup memahami sumber ajarannya sendiri, tidak sanggup memahami warisan peradabannya sendiri. Akal-akal Muslim sekarang tampak mengalami kelumpuhan. Tapi apakah yang membuatnya lumpuh?
Ini bagian paling krusial dari keseluruhan problematika umat kita yang terkait dengan masalah manusia Muslim. Lumpuhnya akal-akal Muslim telah menyebabkan kita kehilangan mata air peradaban. Ketika generasi kemunduran menutup pintu ijtihad, maka mereka telah menutup mata air peradaban. Dan kekeringan inilah yang kini kita warisi dan belum sanggup kita selesaikan, sehingga kita menjadi komunitas global yang hanya hidup di pinggiran sejarah, serta tidak mempunyai campur tangan dalam berbagai peristiwa dunia kecuali hanya sebagai korban.
Kebesaran sejarah akal-akal Muslim yang telah saya sebutkan, bukanlah tempat yang baik untuk melindungi kelumpuhan akal-akal Muslim saat ini. Tapi apabila Allah Swt telah menetapkan bahwa Ia tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat sampai masyarakat itu sendiri merubah dirinya sendiri, maka sekarang kita mengetahui bahwa perubahan atas diri sendiri itu harus dimulai dari sini; merubah cara berpikir kita, dan merekonstruksinya agar ia mampu mengemban fungsi-fungsi arsitektural kembali, agar ia mampu merubah hutan-hutan bumi menjadi taman-taman kehidupan yang indah.

Tetaplah Tersenyum

Bila kondisi hari ini masih seperti kemarin di mana harapan belum menjelma menjadi nyata. Tetaplah tersenyum. Bukan berarti Allah mengabaikan doa-doa kita. Kita tahu, Allah adalah Dzat Yang Maha Mengabulkan doa-doa hamba-Nya.
Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya” (QS Al mu'min:60).
Tak ada yang dapat meragukan janji-Nya. Doa kepada-Nya ibarat sebuah investasi. Tak akan pernah membuat investornya merugi. Karena penjaminnya adalah Dzat Yang Maha Pemurah, Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dzat Yang Maha Welas Asih itu, tak akan pernah ingkar janji. Tidak akan sia-sia munajat yang kita mohonkan pada-Nya, baik di waktu siang apalagi di sepertiga malam. Ketika lebih banyak makhluk-Nya pulas, dalam dekapan dinginnya malam dan hangatnya selimut tebal.

Bila belum ada perubahan berarti tentang rencana-rencana kita, tetaplah tersenyum. Allah lebih mengetahui apa-apa yang baik untuk kita. Yakinlah, bahwa:
Sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah pasti akan datang, maka janganlah kalian minta untuk disegerakan.” (QS An Nahl:1).
Allah Maha Mengetahui kapan sesuatu pas untuk kita, baik dalam sisi timing maupun momentnya. Allah, Pencipta alam raya ini, adalah sutradara hebat, yang tidak akan membiarkan kita terpuruk dalam keburukan. Selama kita yakin akan kekuasaan-Nya, yakin akan kasih sayang-Nya.
Jika semua serasa mandeg, tak ada kemajuan berarti. Tetaplah juga tersenyum. Allah punya cara sendiri untuk membuat kita senantiasa dekat dengan-Nya. Mungkin, semua ini dibuat-Nya untuk kita agar kita senantiasa hanyut dalam sujud-sujud panjang di penghujung malam. Senantiasa larut dalam tangis penuh harap, dalam buaian doa-doa panjang nan khuyuk.
Semua tak akan tersia-sia begitu saja. Allah, mencatat setiap upaya yang kita lakukan dan doa yang kita panjatkan. Segala sesuatu yang kita perbuat, sekecil apa pun itu, akan menuai balasan di sisi-Nya kelak. Niatkan semuanya hanya untuk meraih ridha-Nya, agar perjuangan hebat ini tak hanya bermakna sementara. InsyaAllah kita akan memetik buahnya kelak, di waktu yang telah Ia tentukan.
Dunia ini fana. Tak ada yang kekal didalamnya. Pun perjuangan ini, pengorbanan ini, juga kesulitan ini. InsyaAllah, suatu hari nanti, harapan akan berbuah kebahagiaan. Akan menjelma menjadi kemudahan. Karena, sekali lagi, Allah telah menjamin:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Al Insyirah: 5-6)
Allah pasti akan memberikan kemenangan atau mengadakan keputusan yang lain dari sisi-Nya.” (QS Al Maidah:52)
Tetaplah berbaik sangka kepada-Nya. Tetaplah berharap sepenuh hati kepada-Nya. Tetaplah gantungkan asa setinggi apa pun itu, hanya kepada-Nya. Sekali lagi, hanya kepada-Nya.
Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al A'raf: 56)
…Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf: 87).
Dan, jika akhirnya harapan tidak menjelma seperti yang kita idamkan, tetaplah terus berbaik sangka kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui. Karena,
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah: 216).
Teruslah berjuang. Demi sebuah azzam yang dipancangkan untuk meraih ridho Ilahi Robbi.
Wallohua'lam bishshowwab.

Sepuluh Tindakan Kejam

Beberapa waktu yang lalu, dalam ta'lim subuh, seorang santri membacakan sebuah kitab di mimbar, yaitu terjemahan kitab Tanbihul Ghofilin. Dalam Terjemahan Kitab Tanbihul Ghofilin tersebut, Pada pembahasan tentang Hak Tetangga, Seorang ulama Salaf; Sufyan Ats-Tsauri Menjelaskan bahwa, ada sepuluh macam perilaku yang termasuk tindakan kejam, yang dalam kesempatan ini ane coba untuk bagi-bagi kepada anda sekalian, semoga bermanfaat. Adapun sepuluh tindakan kejam itu adalah sebagai berikut. yaitu:

1. Seseorang yang berdo’a untuk dirinya sendiri, tetapi tidak mendo’akan orang tuanya dan segenap kaum Muslimin
2. Seseorang yang pandai membaca Al-Qur’an, tetapi ia tidak membaca 100 ayat setiap hari
3. Seseorang yang masuk masjid dan keluar lagi, tetapi ia tidak mengerjakan sholat dua roka’at
4. Seseorang yang melewati kubur, tetapi ia tidak mengucapkan salam dan mendo’akan ahli kubur.
5. Seseorang yang memasuki suatu kota pada hari jum’at kemudian ia keluar lagi, tetapi ia tidak mengerjakan sholat jum’at
6. Seseorang yang kedatangan orang pandai (alim) di daerahnya, tetapi ia tidak belajar apa pun daripadanya
7. Dua orang yang bertemu di perjalanan, tetapi ia tidak menanyakan namanya
8.Seseorang yang diundang untuk berkunjung, tetapi ia tidak berkunjung kepada orang yang mengundangnya
9. Orang muda yang menyia-nyiakan masa mudanyam, dimana ia tidak mau mencari ilmu dan belajar tata krama
10. Seseorang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan, tetapi ia tidak mau memberi makan sedikit pun kepada tetangganya.

Monday, June 27, 2011

Kecerdasan Sosial

Manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak akan dapat hidup tanpa adanya orang disekitarnya, dan manusia tidak akan hidup dengan baik bila tidak dapat berbuat yang baik kepada orang lain di sekitarnya. Begitulah yang selalu kita dengar mulai dari Sekolah Dasar sampai jadi dasarnya sekolah (orang tua maksudnya he he he). Setelah malang melintang di dunia sosial (lebay.com) barulah kita menyadari betapa ungkapan tersebut benar adanya. Bahkan tidak sekedar benar, tapi nyata dan terbukti. Kebenaran dan kenyataan itu akan dapat dirasakan oleh setiap orang yang dapat berfikir dan dapat membaca keadaan sekelilingnya, apalagi bagi mereka yang memiliki KECERDASAN SOSIAL, mereka tidak cukup hanya sekedar mengetahui dan merasakan, tetapi dapat memahami dan mengatur segala hal yang diperlukan oleh lingkungannya.

Bila kita mengamati karakter setiap orang disekitar kita, akan ditemui berbagai macam dan ragamnya. Ada yang selalu ingin berbuat baik tanpa pernah berfikir apa yang akan dia terima sebagai ganjaran dari kebaikannya. Ada orang yang selalu ingin berbuat baik dan juga selalu ingin mendapat hasil dari yang ia kerjakan. Ada pula orang yang mengharap kebaikan dari orang lain tanpa mengukur kebaikan yang sudah ia keluarkan untuk orang lain. Dan yang parah adalah ketika orang selalu mengharap sesuatu dari orang lain namun dia sendiri tidak pernah memberi yang terbaik untuk orang lain. Ada juga yang paling unik, dia selalu buat sensasi, tetapi ketika terjadi timbal balik dari lingkungannya dia tidak terima dan merasa lingkungan mengusik ketenangannya serta merasa linkungan tidak megerti terhadap dirinya.

Kalau mau ditanya, sebenarnya apa bekal yang kita perlukan dalam mengarungi kehidupan sosial ini.Tidak lain dan tidak buka adalah KECERDASAN SOSIAL, yaitu sebuah kemampuan untuk bisa memahami keadaan lingkungan sosial kita. Dengan demikian kita akan paham setiap timbal balik yang kita terima, dan juga kita akan paham apa yang sedang dibutuhkan lingkungan soial kita.

Dengan demikian tidak akan terjadi kesalahan komunikasi antara kita dengan teman, tetangga, masyarakat dan semua yang ada dilingkungan sekitar kita. Ketika ada gejolak kita akan segera tahu apa penyebabnya, apakah dari diri kita atau bukan. Sehinngga kita terhindar dari sebuah penyakit yang bernama MAKHLUK ANTI KRITIK. wallohu'alam..

Friday, June 24, 2011

Pembagian Tauhid

Tauhid adalah konsep dasar ketuhanan, yaitu meyakini hanya ada satu Tuhan. Dalam beberapa bahasa ada yang mengistilahkan dengan istilah monotheisme yaitu satu Tuhan. Namun pada intinya ialah sebuah keyakinan tertinggi dengan hanya mempercayai satu TUhan dengan melakukan tindakan mengesakan Tuhan. Wah pembahasaannya jadi berputar-putar ya ? Semoga bisa dipahami. KIta lanjutkan, Tauhid swndiri terbagi dalam tiga ruang lingkup yang nantinya akan menjadi kelompok tindakan sebagai aplikasi dari pembuktian Tauhid itu sendiri. Adapun tiga macam Tauhid itu adalah; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma' wa Ash-Shifat.

-> Tauhid Rububiyah adalah Tauhid yang berorientasi pada tiga sifat Tuhan, yaitu; Pencipta, Penguasa dan Pengatur. Pada Tauhid ini, manusia dituntut untuk memiliki keyakinan tertinggi mengenai Pencipta, Penguasa dan Pengatur hanya satu, yaitu Alloh SWT.
"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah milik Alloh" (QS Al-A'raf ayat 54), "Dan hanya kepunyaan Alloh kerajaan kangit dan bumi" (QS Al-Jatsiyah ayat 27).
Pencipta adalah sebuah kemapuan untuk mengadakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, adapun merubah bentuk dari bentuk baku ke bentuk lain itu bukan menciptakan, tapi sekedar menjadikan ataupun merubah.

-> Tauhid Uluhiyah adalah Tauhid yang berorientasi pada ibadah, dimana kita tidak menjadi hamba yang lain selain hanya menghamba kepada-Nya. Menyembah hanya kepada Alloh SWT, tidak kepada yang lain; tidak kepada malikat, tidak kepada nabi, wali, syekh, orang tua, benda-benda ciptaan Alloh yang dianggap berkemampuan maupun yang tidak berkemampuan. Sehingga yang kita sembah hanya satu, yaitu Alloh SWT.
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rosul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya 'bahwasannya tidak ada TUhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku'." (QS Al-Anbiya' aya 25)

-> Tauhid Asma' wa Ash-Shifat adalah Tauhid yang berorientasi pada pemaknaan nama-nama dan sifat-sifat Alloh sebagai Tuhan. Dalam bidang yang satu ini terjadi berbagai macam pendapat orang mengenai Nama-nama Alloh dan Sifat-sifat-Nya. Apakah dapat diserupakan dengan tindakan manusia atau tidak. Hal ini kita kembalikan kepada Alloh saja. Apalagi kita tidak punya kompetensi untuk membahas yang seperti itu. Dikhawatirkan nantinya akan menjadi penafsiran yang keliru. Wallohu alam ... Semoga Bermanfaat.

Thursday, June 23, 2011

Apakah Psikologi Itu ?

Sejak awal saya mengenal disiplin ilmu yang satu ini, saya jadi tertarik untuk memperhatiakannya lebih serius. Bahkan tidak tanggung-tanggung saya sisipkan aroma psikologi ini dalam dalam Skripsi saya yang memiliki latar belakang komunikasi, sehingga terkesan menjadi olahan komunikasi dengan bumbu psikologi (so' tau hehe). Kalau kita bertanya tentang apakah psikologi itu, akan muncul jawaban yang beragam dari berbagai pakar yang Subhanalloh jeniusnya. Bahkan para pakar Islam juga sudah menelorkan Psikologi Islam yang mencoba menawarkan Psikologi dari konsep Islam. Sehingga semakin bertambah beragamnya jawaban akan Psikologi ini.

Coba saja kita tengok Carole Wade dan Carol Tavris dalam buku mereka Psycology 9th Edition. Kata mereka, bila kita mencoba mencari jawaban tentang Psikologi dengan melihat-lihat buku yang bertebaran ditoko buku, kita akan menjumpai berbagai macam tawaran jawaban yang antara lain;
-> Psikologi membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya menemukan kebahagiaan. Psikologi akan memberitahu anda "Mengapa hidup anda tidak menyenangkan dan apa yang dapat anda lakukan dengan hidup anda, selama anda membaca, saya tidak arus membuat segalanya lebih baik. Bahkan seandainya jika anda merasakan bahwa tidak ada cara apapun untuk memperbaiki hidup anda, anda mungkin dapat terhibur dengan kenikmatan akan stres, kenikmatan akan kegagalan dan bahagia, apapun yang terjadi. Atau anda akan memasuki pusat kebahagiaan di otak anda dengan menggukan metode jiwa bebas".
-> Psikologi akan memperkaya dan membuat anda sukses jika anda membaca langkah kecil untuk mencapai sukses, langkah besar, atau bagaimana cara mencapai sukses dalam hidup anda. Anda dapat belajar tentang bagaimana membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin dan juga bagaimana caranya mendapatkan apa yang seharusnnya menjadi milik anda.
-> Psikologi akan membantu anda jatuk cinta,tetap jatuh cinta, dam melupakan orang yang anda cintai. Cinta adalah jawabannya, namun hanya jika anda lebih dulu mencintai diri anda sendiri dan tidak mengembangkan cinta obsesif. Anda dapt belajar mengenai bagaimana semua orang mencintai anda selama anda jangan katakan iya ketika anda ingin berkata tidak. Begitu anda sudah saling mencintai, tuntunya anda butuh seni bercinta, dan seni menjaga hubungan. Dan jika hubungan anda dihadapkan pada masalah, anda mungkin akan mencari penyelamat hubungan asmara.
-> Jika anda menyukai hal-hal yang ingin anda ketahui dipaparkan dalam daftar yang mudah diikuti, anda sangat beruntung. Anda dapat menjalani hidup yang anda sukai dalam sepuluh langkah mudah, menemukan sepuluh rahasia mencapai sukses dan kedamaian hati, mencoba obat kecemasan; program yang membuat anda lebih baik dalam delapan langkah, memeditasikan enam pilar kepercayaan diri, dan menjalani delapan cara mudah untuk menyelesaikan masalah.
-> Dalam Psikologi Islam dikatakan bahwa manusia bukan hanya terstruktur dari jasmani; tapi juga ruhani. Sinergi keduanya inilah yang membentuk nafsani. Dari ketiga sistem inilah terbentuk kepribadian individu manusia.

Nah itu yang akan kita jumpai dari berbagai macam buku yang kita temui, namun secara umum Psikologi dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang berfokus pada perilaku dan berbagai proses mental dan bagaimana prilaku dan berbagai proses mental ini dipengaruhi oleh kondisi mental organisme, dan linkungan eksternal. Inilah beberapa hal tentang psikologi yang terbaca dalam buku-buku yang kita baca, semoga bermanfaat.

Monday, June 20, 2011

Rajab Mulia

Tanpa terasa kita sudah berada di bulan Rajab, yang berarti dua bulan sebelum bulan Ramadhan. Nabi saw dan juga ulama salaf menjadikan bulan Rajab termasuk bulan persiapan untuk memasuki Ramadhan. Segala bentuk latihan dilakukan, baik latihan fisik maupun ruhiyah. Rajab adalah bulan yang ke 7 di dalam sistem kalender islam (hijriyah) yang berdasarkan peredaran bulan (qomariyah). Bulan rajab termasuk salah satu dari 4 bulan yang dimuliakan oleh Allah atau disebut sebagai bulan-bulan Haram.Penamaan bulan Rajab, dari kata rajjaba – yurajjibu yang artinya mengagungkan. Bulan ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab. (keterangan Al Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, hal. 210)
“Bersabda Rasulullah SAW : “ Sesungguhnya di surga ada sungai yang disebut dengan rajab (isinya) lebih putih dari pada susu, dan lebih manis dari pada madu. Barangsiapa yang berpuasa sunnah satu hari pada bulan Rajab akan diberi minum oleh Allah dari sungai tersebut.” (HR. Imam Baihaqi)

Bulan Rajab memiliki banyak kelebihan, Beberapa hadis Rasulullah saw menunjukkan kelebihan bulan rajab:
1.Hendaklah kamu memuliakan bulan Rajab, niscaya Allah memuliakan kamu dengan seribu kemuliaan di hari Qiamat.
2.Bulan Rajab bulan Allah, bulan Sya’ban bulanku, dan bulan Ramadhan bulan umatku.
3.Kemuliaan Rajab dengan malam Isra’ Mi’rajnya, Sya’ban dengan malam nisfunya dan Ramadhan dengan Lailatul-Qadarnya.
4.Puasa sehari dalam bulan Rajab mendapat syurga yang tertinggi (Firdaus).Puasa dua hari dilipatgandakan pahalanya.
5.Puasa 3 hari pada bulan Rajab, dijadikan parit yang panjang yang menghalangnya ke neraka (panjangnya setahun perjalanan).
6.Puasa 7 hari pada bulan Rajab, ditutup daripadanya 7 pintu neraka.
7.Puasa 16 hari pada bulan Rajab akan dapat melihat wajah Allah di dalam syurga, dan menjadi orang yang pertama menziarahi Allah dalam syurga.
8.Kelebihan bulan Rajab dari segala bulan ialah seperti kelebihan Al-Quran keatas semua kalam (perkataan).
9.Puasa sehari dalam bulan Rajab seumpama puasa empat puluh tahun dan iberi
minum air dari syurga.
10.Bulan Rajab Syahrullah (bulan Allah), diampunkan dosa orang-orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya. Puasa dalam bulan Rajab, wajib bagi yang ber puasa itua.Diampunkan dosa-dosanya yang lalu. Dipelihara Allah umurnya yang tinggal.Terlepas daripada dahaga di akhirat.
11.Puasa pada awal Rajab, pertengahannya dan pada akhirnya, seperti puasa sebulan pahalanya.
12.Siapa bersedekah dalam bulan Rajab, seperti bersedekah seribu dinar,dituliskan kepadanya pada setiap helai bulu roma jasadnya seribu kebajikan, diangkat seribu derjat, dihapus seribu kejahatan -
“Dan barang siapa berpuasa pada tgl 27 Rajab/ Isra Mi’raj akan mendapat pahala seperti 5 tahun berpuasa.”
- “Barang siapa yang berpuasa dua hari di bulan Rajab akan mendapat kemuliaan di sisi ALLAH SWT.” “Barang siapa yang berpuasa tiga hari yaitu pada tgl 1, 2, dan 3 Rajab, maka ALLAH akan memberikan pahala seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya dunia, dan siksa akhirat.”
- “Barang siapa berpuasa lima hari dalam bulan ini, permintaannya akan dikabulkan.”
- “Barang siapa berpuasa tujuh hari dalam bulan ini, maka ditutupkan tujuh pintu neraka Jahanam dan barang siapa berpuasa delapan hari maka akan dibukakan delapan pintu syurga.”
- “Barang siapa berpuasa lima belas hari dalam bulanini, maka ALLAH akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan menggantikan kesemua kejahatannya dengan kebaikan, dan barang siapa yang menambah(hari-hari puasa) maka ALLAH akan menambahkan pahalanya.”

OLeh karenanya,mari kita ambil segala manfaat bulan Rajab,sekaligus sebagai persiapan untuk menjemput bulan Ramadhan. Sehingga kita dapat menjadi manusia yang siap ber-Ramadhan.