Tidak ada peristiwa yang lebih mengharu-biru kaum Muslimin, di sepanjang masa kenabian dan perjuangan Rasulullah Saw, selain saat dimana beliau menyampaikan pidato dalam hajjatul wada'. Itulah haji pertama dan terakhir yang dilaksanakan Rasulullah saw sejak ibadah itu diwajibkan, menurut jumhur ulama, pada tahun keenam hijrah. Karena itu sebagian besar kaum Muslimin menyempatkan diri untuk berhaji tahun itu. Jumlah mereka sekitar 125 ribu orang.
Sementara kaum Muslimin Merasakan kegembiraan mendengar khotbah Rasulullah saw, Abu Bakar justru menangis tersedu-sedu. Ia menangkap dengan jelas isyarat yang tersimpan dalam kalimat-kalimat Rasulullah saw, bahwa masa hidupnya tidak akan lama lagi. Dan benar saja, Rasulullah saw kemudian wafat beberapa saat setelah hajjatul wada' itu. Itu seperti sebuah isyarat bahwa tugas beliau sudah akan selesai sampai disini, tapi cita-cita untuk membawa cahaya Islam kepada seluruh umat manusia belum lagi selesai; dan adalah tugas para sahabat untuk melanjutkan risalah dakwah tersebut.
Kini, setelah lima belas abad kemudian, Islam menjadi fenomena sejarah sebagai sebuah peradaban terbesar yang pernah ada dan masih ada hingga saat ini. Islam tersebar di seluruh pelosok dunia, dari Aljir sampai Jakarta, dengan jumlah pemeluk sekitar 1,3 milyar manusia, atau sekitar seperlima dari total jumlah manusia yang menghuni bumi ini. Apabila Rasulullah saw meninggalkan lebih dari 125 ribu orang, maka dari merekalah sesungguhnya Islam berkembang ke seluruh pelosok dunia. Tapi dari jumlah itu, sebenarnya sebagian besar mereka masuk ke dalam Islam justru setelah peristiwa Fathu Makkah pada tahun kedelapan hijrah, atau 20 tahun setelah Rasulullah saw menjadi rasul.
Ini berarti bahwa sahabat-sahabat beliau yang mempunyai peran besar dalam penyebaran Islam dan pembangunan peradaban Islam tidaklah terlalu banyak. Jumlah ulama dari sahabat-sahabat Rasulullah saw dalam catatan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam "I'lamul Muwaqqi'in", hanya kurang dari 110 orang. Dan diantara mereka yang terbesar ada 7 orang, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ali Bin Ali Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud. Sebagian besar ulama dan pemikir Islam yang lahir kemudian, dari kalangan Tabi'in dan Tabi'uttabi'in dan seterusnya, mengambil ilmu dari mereka.
Otak Arsitek
Peradaban selalu bermula dari gagasan. Peradaban-peradaban besar selalu lahir lahir dari gagasan-gagasan besar. Dan gagasan-gagasan besar selalu lahir akal-akal raksasa. Begitulah kejadiannya, jumlah sahabat yang ditinggalkan Rasulullah saw memang sedikit, tapi mereka semua membawa semangat dan kesadaran sebagai pembangun peradaban, dan membawa talenta sebagai arsitek peradaban.
Kesadaran itu terbentuk sejak dini dalam benak mereka. Allah swt telah menciptakan manusia untuk beribadah dan mengelola serta menegakkan khilafah di muka bumi. Dan untuk itu Allah swt memberikan mereka "juklak" (petunjuk laksana) berupa al-Qur'an, dan menurunkan seorang rasul sebagai "komunikator" Allah Swt, sekaligus sebagai pemberi contoh laksana dalam kehidupan nyata.
Sejak awal mereka menyadari bahwa al-Qur'an bukanlah sebuah buku filsafat kehidupan, yang kering dan rumit, atau pikiran-pikiran indah yang tersimpan di menara gading dan tidak mempunyai alas dalam realitas kehidupan. al-Qur'an adalah sebuah "manual" tentang bagaimana seharusnya kita mengelola kehidupan di bumi ini. Bumi adalah ruang kehidupan tempat kita "menurunkan" kehendak-kehendak Allah swt, yang termaktub dalam wahyu, menjadi satuan-satuan realitas dalam kehidupan manusia di muka bumi. Bumi adalah realitas kasat mata yang harus dikelola manusia.
Maka doktrin Al-Qur'an tentang Allah, Rasul, manusia dan kehidupan sejak awal menegaskan sebuah kesadaran yang integral; bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah akhirat, dan bahwa misi manusia di dunia ini adalah ibadah, tapi ruangnya adalah bumi. Karena itulah mereka mempunyai kesadaran yang kuat tentang ruang; ruang di mana mereka hidup, ruang yang menjadi wilayah kerja akal mereka, ruang yang menjadi tempat mereka menumpahkan seluruh proses kreatif mereka, yaitu bumi; dan bahwa ada ruang lain yang bukan wilayah kerja mereka, ruang dimana akal mereka tidak akan pernah sanggup menembusnya, ruang yang menjadi hak Allah Swt sendiri untuk menjelaskannya, yaitu ruang kegaiban, yaitu ruang metafisik di mana Allah swt menyimpan hakikat-hakikat besar dalam kehidupan ini, tentang Dzat-Nya sendiri, dunia malaikat, kehidupan akhirat, dan lainnya.
Kesadaran tentang ruang ini telah menanamkan sikap realisme dalam benak mereka, maka mereka bergerak lincah dalam wilayah itu. Proses kreativitas mereka tumpah ruah disini; dalam semangat merealisasikan kehendak-kehendak Allah Swt di muka bumi, dalam semangat memakmurkan dunia, dalam semangat membangun peradaban. Kesadaran tentang ruang sejak awal membuat peran intelektual dan kerja pemikiran mereka terpola dalam kerangka sebagai arsitek peradaban; bumi ini adalah lanskapnya, dan wahyu adalah kehendak-kehendak Sang Pemilik Kehidupan yang harus diolah menjadi sebuah master plan dan maket, darimana kemudian satuan-satuan kerja mengelola bumi menjadi rumah peradaban tempat manusia menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup, dimulai.
Dan begitulah Rasulullah Saw memberikan tamsil, bahwa silsilah nabi dan rasul yang turun ke bumi ini seperti sebuah bangunan dimana setiap nabi atau rasul menyelesaikan satu tahap pekerjaan, hingga tiba saatnya Allah menutup mata rantai kenabian dimana "Aku," kata Rasulullah Saw, "meletakkan batu terakhir."
Ijtihad: Mata Air Peradaban
Dalam konteks kesadaran tentang ruang dan pemilihan peran subjektif sebagai pembangun peradaban, kerangka kerja intelektual manusia Muslim terpola dalam fungsi-fungsi arsitektural dimana mereka bekerja sebagai desainer, sebagai perancang, sebagai pembuat master plan. Dan begitulah kemudian sebuah karya peradaban besar lahir ke bumi; satu milenium lamanya manusia menikmati sejarah mereka yang terindah di bawah naungan Islam. Dalam fungsi arsitektural itulah metafor Iqbal menemukan maknanya; dimana hutan-hutan bumi berubah menjadi taman-taman kehidupan yang indah.
Dalam fungsi arsitektural itu juga akal-akal Muslim tumbuh dengan kemampuan berpikir dan berkreasi yang luar biasa pada semua kategori dan tingkatan kemampuan intelektual manusia; kemampuan memahami (daya serap), kemampuan menganalisa (daya analisis), kemampuan mencipta (daya cipta).
Kemampuan itulah yang misalnya terlihat dalam sejarah ekspansi Islam, khususnya pada masa khulafa rasyidin. Dalam bidang politik, masa ekspansi besar-besar yang terjadi selama 30 tahun masa keempat khulafa rasyidin ini, telah disertai dengan peletakan dasar-dasar ketatanegaraan; bentuk dan sistem pemerintahan yang berorientasi global state tapi bersifat desentralis, sistem pemilihan khalifah, sistem administrasi dan keuangan negara yang berkembang pesat khususnya dalam pengelolaan wilayah-wilayah baru, manajemen konflik, dan lainnya. Dalam bidang keamanan dan geostrategi, selama masa ekspansi besar-besaran ini kita menyaksikan kejeniusan para khulafa dalam pengokohan integrasi teritorial dengan menjadikan jazirah Arab sebagai basis, strategi ekspansi dan taktik perang dalam menghadapi dua kekuatan terbesar, Persi dan Romawi.
Kemampuan akal-akal Muslim juga terlihat dalam perkembangan ijtihad dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Usaha menjaga kemurnian dan keotentikan teks al-Qur'an telah dilakukan melalui pengumpulan dan penulisan mushaf pada masa Abu Bakar, dan standarisasi bacaannya pada masa Utsman bin Affan. Sementara itu, usaha menjaga kemurnian dan keotentikan Sunnah telah melahirkan satu metodologi baru yang tidak ada tandingannya dalam semua peradaban lainnya. Selanjutnya dari kedua sumber itu kemudian lahir berbagai macam ilmu-ilmu keislaman yang struktur dan content yang mandiri dan solid, khususnya ilmu fiqh yang menjadi induk pengetahuan keislaman ketika itu.
Selain perkembangan ilmu-ilmu keislaman, kita juga menyaksikan perkembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya yang bersifat terapan. Misalnya ilmu jiwa yang berkembang secara terapan melalui perkembangan ilmu suluk dan akhlaq. Ilmu politik dan ekonomi yang melalui serangkaian ijtihad politik yang timbul sebagai implikasi dari perluasan wilayah Islam. Ilmu sejarah dan sosial mungkin yang berkembang paling pesat, khususnya setelah pembauran berbagai etnis dan budaya selama masa ekspansi. Bahkan pengalaman panjang dalam jihad dan perang telah diformulasi oleh kaum Muslimin menjadi ilmu strategi dan taktik perang.
Demikian juga dalam bidang teknologi. Teknologi maritim, misalnya, telah berkembang pada masa Utsman bin Affan sejalan kebutuhan jihad untuk menghadapi Romawi yang menguasai teknologi itu. Demikian juga industri militer lainnya yang berkembang untuk memenuhi kebutuhan jihad. Selain teknologi terapan, ilmu-ilmu eksakta, khususnya dalam bidang fisika dan kedokteran, telah berkembang pesat khususnya setelah kaum Muslimin menemukan dan mengembangkan metodologi empiris, yang hingga kini menjadi sebab perkembangan ilmu pengetahuan di Barat, justru ketika Romawi menggunakan pendekatan teologi dan filsafat untuk ilmu-ilmu eksakta.
Apa yang ingin ditegaskan disini adalah bahwa, kemampuan akal-akal Muslim tidak hanya pada daya serapnya yang sangat besar terhadap semua jenis ilmu pengetahuan, tapi juga kemampuannya dalam mengkritisi ilmu-ilmu baru yang sampai ke mereka, dan kemudian kemampuannya dalam merekonstruksinya kembali, dan bahkan kemampuannya dalam mencipta ilmu-ilmu baru atau metodologi baru. Dalam konteks itulah kita melihat bagaimana konsep ijtihad dalam Islam telah mewadahi proses kreativitas akal-akal Muslim, dan karenanya, kemudian menjadi mata air peradaban Islam yang tak pernah kering. Akal-akal Muslim itu, dengan kata lain, mampu memahami zamannya, dan sekaligus memberi sesuatu yang kepada zamannya.
Dimanakah Sang Arsitek Itu Kini?
Tapi dimanakah akal-akal besar yang pernah menggoncang peradaban dunia dengan temuan-temuannya itu? Di manakah akal-akal Muslim yang dulu sanggup memahami zamannya dan kemudian memberi sesuatu yang baru bagi zamannya?
Inilah masalah kita. Akal-akal Muslim sekarang, bukan hanya tampak tidak berdaya memahami zamannya, apalagi memberi sesuatu yang baru bagi zamannya, tapi bahkan tidak sanggup memahami dirinya sendiri, tidak sanggup memahami sumber ajarannya sendiri, tidak sanggup memahami warisan peradabannya sendiri. Akal-akal Muslim sekarang tampak mengalami kelumpuhan. Tapi apakah yang membuatnya lumpuh?
Ini bagian paling krusial dari keseluruhan problematika umat kita yang terkait dengan masalah manusia Muslim. Lumpuhnya akal-akal Muslim telah menyebabkan kita kehilangan mata air peradaban. Ketika generasi kemunduran menutup pintu ijtihad, maka mereka telah menutup mata air peradaban. Dan kekeringan inilah yang kini kita warisi dan belum sanggup kita selesaikan, sehingga kita menjadi komunitas global yang hanya hidup di pinggiran sejarah, serta tidak mempunyai campur tangan dalam berbagai peristiwa dunia kecuali hanya sebagai korban.
Kebesaran sejarah akal-akal Muslim yang telah saya sebutkan, bukanlah tempat yang baik untuk melindungi kelumpuhan akal-akal Muslim saat ini. Tapi apabila Allah Swt telah menetapkan bahwa Ia tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat sampai masyarakat itu sendiri merubah dirinya sendiri, maka sekarang kita mengetahui bahwa perubahan atas diri sendiri itu harus dimulai dari sini; merubah cara berpikir kita, dan merekonstruksinya agar ia mampu mengemban fungsi-fungsi arsitektural kembali, agar ia mampu merubah hutan-hutan bumi menjadi taman-taman kehidupan yang indah.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya