Oleh: Abdul Kholiq, Lc
Hal yang sepadan saat ini tengah terjadi. Ketika MUI –sebagai wadah resmi ulama di bawah pemerintah- berencana menyampaikan fatwanya sebagai jawaban atas permohonan ketua Komnas HAM Anak Seto Mulyadi, kontan segenap tokoh menentang rencana itu. Bahkan para petani tembakau di Jember, Jawa Timur, Jumat (15/8/2008) siang, berdemonstrasi menentang fatwa MUI tersebut (http://www.liputan6.com) Pasalnya, fatwa tersebut berisi pengharaman atas bahan konsumsi beracun yaitu rokok. Mengapa itu terjadi, beragam alasan mereka kemukakan, baik yang bersifat normatif (berdasar pada dalil syar'i) maupun sosiologis.
Walaupun belum dikenal pada masa Nabi, sahabat maupun tabiin, masalah rokok tak dapat dikatakan baru dalam kehidupan kaum muslimin. Awal abad ke 10 H adalah era awal kaum muslimin bersentuhan dengan menghisap rokok (syurb al-dukhan). Melalui karya ulama dapat kita saksikan bagaimana respon mereka sejak saat itu terhadap fenomena kegandrungan baru yang populer tersebut. Sepanjang penelusuran penulis respon pertama adalah fatwa haram dari para ulama besar yang dikutip dan disetujui oleh sang murid yang juga ulama besar Abu Yahya Zakariya al-Anshari al-Syafi'i yang wafat pada 926 H (baca al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: I/143). Kemudian berikutnya muncul beberapa fatwa baik yang mendukung maupun yang berbeda. Pendapat mereka terbagi dalam tiga kubu, mengharamkan, memakruhka dan memubahkan. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: I/3522)
Kelompok yang membolehkan, beralasan dengan kaidah fikih, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada bukti yang mengharamkannya. Faktor yang mengharamkan barang konsumsi ada dua hal yaitu memabukkan dan membahayakan kesehatan. Sayyid Sabiq menambahkan tiga hal lagi yaitu najis, terkena najis dan masih berstatus milik orang lain. ( Fiqh al-Sunah: III/267). Menurut mereka semua hal itu tak terbukti pada rokok, sehingga hukumnya tetap halal. Andaipun ada yang terkena dampak negatif sebabnya, maka yang demikian bersifat relatif. Jangankan rokok, madupun yang secara nash dikatakan mengobati, dapat pula berdampak negatif kepada sebagian orang. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama lintas madzhab diantaranya yaitu Abd al-Ghani al-Nabulisi al-Hanafi (1062 H) yang terkenal dengan karangannya "al-Shulh Bain al-Ikhwan Fi Ibahat Syurb al-Dukhan". Ungkapan paling pedas disampaikan oleh al-Syaikh Ali Ibn Muhamad Ibn Abd al-Rahman al-Ajhuri (1066 H) dari madzhab maliki. Sebagaimana di kutip oleh Ahmad Ibn al-Shawi (1241 H) ia mengatakan : "Tidak mungkin orang yang berakal mengatakan bahwa rokok itu haram secara material, kecuali orang yang bodoh terhadap pendapat imam madzhab, congkak atau penentang" (Hasyiyah al-Shawi 'Ala al-Syarh al-Shaghir: I/74) Begitu pula Ibn 'Abidin (1252 H) dan al-Hamawi.. Untuk mengabadikan pendapatnya al-Ajhuri mengarang kitab "Ghayat al-Bayan li Hilli Syurb Ma La Yughayyib al-'Aql Min al-Dukhan". Sedangkan dari madzhab syafi'i ada al-Hifni, al-Halabi dan al-Syubramilisi. Ditambah lagi dari kalangan ulama hanbali yaitu al-Syaukani dan al-Karami.
Adapun kelompok ulama yang memakruhkan adalah Ibn 'Abidin (yunior) al-Hanafi yang wafat pada tahun 1306 H, Yusuf al-Shaftiy al-Maliki (abad XII), al-Syarwani al-Syafi'i dan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Dasar pendapat mereka adalah pertama, yang jelas asap rokok itu menimbulkan bau busuk. Dan kedua, dalil ulama yang mengharamkan itu belum valid, alias belum dapat dipercaya secara penuh, hingga hanya sebatas menimbulkan keraguan (syakk).
Sementara itu, ulama dahulu yang berpendapat haram antara lain seperti Zakariya al-Anshari al-Syafi'i, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn 'Ammar al-Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din al-Ghazi al-Syafi'i, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafi'i (1070 H) dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Pada saat yang begitu jauh dari penelitian ilmiah modern, mereka seragam beralasan, bahwa rokok mengakibatkan terbukanya berbagai saluran dalam tubuh hingga potensial dimasuki materi yang berbahaya dan nyata pula bahwa rokok mengakibatkan kepala pusing. (Hasyiyah al-Bujairami 'Ala al-Khathib: XIII/200, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: I/143, Hasiyah al-Qalyubi wa 'Umairah: I/341). Pendapat yang sangat keras disampaikan al-Bujairami al-Syafi'i (1221 H) sebagaimana dikutip oleh Syatha al-Bakri (1310 H). Ia berkata :" Adapun rokok yang ada saat ini yang juga disebut dengan al-tutun –semoga Allah melaknat orang memprakarsainya-, sesungguhnya itu termasuk hal baru (bid'ah) yang buruk " (I'anah al-Thalibin: II/260)
Sebagaimana disingung di atas, bahwa semua ulama sepakat dan tak satupun menolak bahwa keharaman barang konsumsi tergantung kepada keberadaan salah satu atau lebih dari kelima faktor yaitu memabukkan (muskir), membahayakan kesehatan (mudhirr), najis, terkena najis (mutanajjis) dan masih berstatus milik orang lain (milk al-ghair). Dan terbukti alasan kedua itulah (mudhirr, mengakibatkan madhrrat) yang menjadi stressing argumentasi ulama yang mengharamkan. Maka, bila dikaji dengan seksama tentang alasan kedua pendapat pertama di atas –yang membolehkan dan memakruhkan-, dapat dikatakan wajar bila keduanya menolak atau kurang percaya terhadap validitas argumen pendapat ke tiga. Hal itu dapat dipahami, sebab kendala utamanya terletak pada metode pembuktian dampak tersebut. Maklum, saat itu belum ada standar penelitian ilmiah serta metodenya yang disepakati, apalagi yang bersifat medis. Akhirnya, argumentasi bahwa rokok mengandung madharat dapat dengan ringan ditepis oleh orang yang tidak mempercayai, baik berdasar pengalamn pribadi maupun orang lain yang tidak tampak terkena dampak negatif rokok.
Untuk mengurai masalah ini, hendaknya dikembalikan kepada petunjuk Allah. Sebagaimana diketahui Allah memerintahkan kita untuk bertanya setiap hal kepada orang yang berkompeten (ahl al-dzikr) dengan firmannya: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan bila kalian tidak mengetahui" (QS. Al-Nahl : 43). Dalam masalah rokok, ada dua masalah yang memerlukan dua ahli yang berbeda. Terkait dengan materi dan zat yang terkandung di dalamnya serta dampaknya terhadap kesehatan manusia, maka itu adalah wilayah ahli kesehatan, dokter maupun paramedis lain. Pada sisi lain, secara hukum syar'i adalah bidangnya ahli fikih. Dan seperti diketahui hukum syar'i dalam masalah rokok ini tergantung pada hasil studi para ahli kesehatan tersebut.
Sumber : www.hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment
Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya