Apa yang menyebabkan semua itu? Banyak anggapan menyatakan bahwa itu semua tergantung mindsetting dan paradigma atau pola pikir kita dalam memandang masalah. Major opinionnya seperti ini”Kita punya masalah karena kita berpikir bahwa kita punya masalah.” Sama seperti filsuf Yunani, Socrates, menyatakan “Jika saya minum atau makan sesuatu yang beracun, semua itu tidak akan membunuh saya jika saya tidak mengenal adanya racun.”
Alasan ini banyak dipakai dalam terapi pemulihan mental dan psikologi. Namun aplikasinya kurang bisa diterima. Salah satu contoh yang bertolak belakang dengan ini adalah pemikiran ‘simple exception’. Apakah kalau saya tidak bisa melihat otak saya, berarti saya tak berotak?
Anggapan lain adalah bahwa masalah disebabkan oleh “metamorfosis” atau ” siklus kecebong.” Seperti layaknya seekor kecebong yang melepas insangnya dan mulai bernafas dengan paru paru. Mungkin awalnya, si beruda mau agar pasokan O2 dalam tubuhnya tercukupi. Namun, lama kelamaan ia kehilangan jati dirinya. Ia mulai meninggalkan air, padahal struktur bagian luarnya terikat erat dengan air, misalnya lendir pada kulit. Ia juga tidak sepenuhnya dapat bahagia di darat. Akhirnya, bisa dikatakan ia terjebak proses yang dieksplorasinya sendiri. Ia bukan makhluk air, ia bukan makhluk darat. Ia terus berputar di tempat, namun lingkaran tidak berawal dan tidak berakhir.
Masalah banyak diawali siklus ini. Kita bereksplorasi, keluar dari zona aman kita, namun tidak memiliki totalitas, totalitas dan totalitas. Kita mau menjelajah, mengubah dan merevisi tatanan hidup, namun tidak melepas “lendir” yang mengikat kita dengan kehidupan lama. Mungkin kenangan akan kegagalan kita menghantui semangat kita dalam memulainya kembali. Atau mungkin kita masih merasa belum “menyelesaikan kehidupan kita” sebelumnya. Seorang pengusaha tekstil yang mapan mencoba meluaskan usaha dengan menjadi pengusaha kendaraan bermotor. Namun bila ia memakai patokan bisnis tekstil, ia hanya akan berputar putar di tempat karena tekstil tidak sama dengan motor, seperti halnya air dan darat.
Namun sebenarnya, masalah paling dominan disebabkan oleh reaksi kita menghadapi suatu kejadian. Bayangkan kejadian berikut:
………………………………………………………………………………
…..
Suatu hari Bram (pegawai kantor) seperti biasanya hendak sarapan sebelum berangkat kerja. Ia juga sekalian mengantar adik perempuannya ke sekolah. Istrinya mempersiapkan perlengkapannya. Adiknya membuatkannya kopi. Ketika adiknya menyuguhkan kopi itu, tanpa sengaja ia terpeleset, dan kopinya tumpah mengenai jas Bram. Bram pun marah marah. Ia gak jadi sarapan, dan pergi ngantor tanpa mengantar adiknya. Di kantor, karena pikirannya dipenuhi emosi, kerjaannya jadi kacau. Teman teman dan bosnya menegurnya. Sementara adiknya terpaksa naik angkutan umum ke sekolah. Di angkutan umum, adiknya kehilangan hp, terus terlambat tiba di sekolah padahal sedang ujian.Komplit
Lihat masalah yang dihadapi Bram. Betul betul kompleks dan memerlukan penanganan yang sangat dalam, karena mencakup semua unsur di sekitar Bram, baik adiknya, kerjaannya, relasinya, dll. Mengapa? Karena ia bereaksi kurang tepat menghadapi kejadian “ringan” pagi itu. Ia bereaksi memakai naluri dan insting, bukannya dengan kedewasaannya. Coba bayangkan kalau misalnya Bram gak marah marah. Ia hanya menyuruh istrinya mengganti jas, menghibur dan memaafkan adiknya, kemudian mengantar adiknya ke sekolah. Sederhana, masalah gak muncul.Melalui ini, kita bisa tahu bahwa bagaimana kita bereaksi memicu masalah atau penyelesaian. Bila kita bereaksi tenang, dewasa dan logis, maka penyelesaian yang muncul. Namun bila menggunakan “emotional dominae” semuanya hanya akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks.
Jadi bagaimana kita me manajemen masalah masalah yang terlanjur kita hadapi?
Simpel sekali. Ingat, ini hanya memanajemen, yang berarti mengatur dan menyesuaikan, bukan menyelesaikan, karena masalah setiap orang berbeda. Tujuan kita memanajemen masalah adalah untuk menyederhanakannya, seberapa pun kompleksnya Ada dua cara yang mungkin bisa dilakukan
a. Bila masalah itu adalah masalah eksternal, misalnya masalah di tempat kerja, sekolah, masalah keluarga, dll, jadilah pengamat, berilah solusi bila diminta dan tegaslah dalam menunjukkan logika. Pengamat dalam hal ini berarti kita tidak langsung terjun ke pusat masalah, tapi bergerak melingkar, mulai dari awal masalah sampai ke intinya. Misalnya bila menghadapi teman yang suka mengejek kita. Jangan langsung menjatuhkan pidana bahwa kepribadiannya jelek. Tapi coba sabar, telusuri bagaimana sikapnya pada teman lain. Pasti ada alsan ia melakukan hal itu, apakah sekadar for fun, pelampiasan, atau memang dia ada masalah khusus denganmu. Bila sudah, berilah solusi bila diminta/ atau diperlukan. Mungkin kamu perlu berkonsultasi denga pihak ketiga dan merencanakan bagaimana menyatakan perasaanmu pada temanmu ini. Dan yang terakhir, tegas dalam logika berarti bila masalahnya adalah masalah “side to side”, “ya atau tidak”, nyatakanlah argumenmu dan jangan menariknya kembali, karena akan menimbulkan lebih banyak masalah.
b. Bila masalah internal misalnya kepercayaan diri, patah semangat dan sejenisnya, kilas baliklah kejadiannya. Putar ulang kenangan kejadian yang menyebabkan hal itu. Identifikasilah apa penyebab utama, misalnya kamu ga percaya diri menghadapi ujian. Apa karena ada temanmu yang gagal,atau kamu sendir pernah gagal? Atau apakah kurang persiapan? Bila sudah diidentifikasi apa penyebab utamanya, itulah yang perlu dicari solusinya. Kalau kamu gak percaya diri karena kurang persiapan, itulah yang kamu perbaiki. Tidak perlu misalnya, pindah les belajar, cari guru privat, dll karena bukan itu yang akan menyelesaikannya. Dan yang paling penting, “never give up”
Semua masalah mungkin bisa diselesaikan. Tapi yang paling penting, bagaimana kita mengatur dan menyederhanakannya dahulu, baru menyelesaikannya. Karena, solusi suat masalah bisa jadi “bumerang” dan sumber masalah baru. Intinya, dalam manajemen masalah, pertama jadilah pengamat dan identifikasilah masalahnya. Tidak terlalu sulit. Gitu aja kok repot….?
No comments:
Post a Comment
Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya