Assalamu'alaikum ... Selamat Datang ... Semoga Blog Ini Bisa Memberi Manfaat ... Jangan Bosan Untuk Kembali lagi ^_^

Saturday, January 3, 2009

Hari Raya, Mengapa Harus Berbeda.......?

Oleh: Abdul Kholiq, Lc

Masyarakat (khususnya orang awam) sering cemas dan bingung saat hendak mengawali Ramadhan atau Syawal. Mereka kerap disuguhi perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal.

Tentu saja ini bukan masalah sepele. Idul Fitri yang seharusnya membuat mereka senang, justru melahirkan kebingungan dan kecemasan.

Sekedar catatan, setidaknya, sejak 1992 sampai sekarang, sudah tujuh kali Indonesia mengalami perberbedaan Idul Fitri. Dimungkinkan, Ramadhan tahun inipun akan mengalami nasib sama.

Wajar jika Menteri Agama, M Maftuh Basyuni, mengaku selalu merasa khawatir setiap menjelang bulan Ramadahan atau saat menetapkan 1 Syawal.

Hak Amir

Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Ahmad Zahro pernah mengkritik sikap sebagian tokoh yang cukup paham agama dan mengikuti sidang itsbat. Tatakala selesai sidang dan menghasilkan keputusan pemerintah, mereka kembali kepada golongan masing-masing dengan tetap berpegang pada pendapat semula tanpa hirau dengan keputusan pemerintah hasil musyawarah mereka sendiri.

Andaikan ulama-ulama terhormat --yang mayoritas mewakili organisasi keagamaan-- itu lebih berlapang dada mengakui ototoritas pemerintah (dalam hal ini Depag) melalui mekanisme sidang itsbat, maka setidaknya musibah itu dapat diminimalisir secara signifikan, kalaupun tidak ternetralisir.

Patut disyukuri, Maftuh berani menyatakan dengan tegas --dalam sambutannya pada Halaqah Internasional Ulama dan Orientasi Hisab Rukyat Mejelis Ulama Indonesia di Malang (Sabtu, 2/8/08)-- bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, adalah otoritas pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Agama, melalui mekanisme sidang itsbat.

Apa yang dikatakan Maftuh itu secara fikih cukup berdasar. Sebab masalah ini menyangkut Muslim secara menyeluruh yang tidak boleh dibatasi dengan sekat-sekat madzhab, organisasi, maupun aliran. Untuk itu, perlu keputusan dari pihak yang menjadi atasan dari semua kelompok tersebut, baik rela maupun tidak.

Secara umum, eksistensi peran pemerintah --baik dengan simbol khalifah, imam, sultan, hakim, amir dan istilah lainnya-- dalam penegakan syariat adalah sesuatu yang tak dapat dibantah. Dalam hal jihad Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda: "Imam adalah tameng untuk berperang (melawan musuh) dan sebagai perlindungan. Jika ia memerintah untuk bertaqwa kepada Allah dan berbuat adil, maka baginya pahala. Dan bila ia memerintah dengan yang lainnya, maka ia berdosa" (Riwayat Nasa'i).

Tak hanya masalah perang, masalah hukum pidana maupun perdata, atau hukuman yang berupa ta'zir, semua diserahkan pada kebijakan imam (penguasa). (Riwayat Turmudzi)

Al-Mawardi dalam buku monumentalnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyimpulkan bahwa dalam Islam negara mempunyai dua fungsi. Pertama, menjaga agama (hirasat al-din), dan kedua, mengatur dunia (siyasat al-dunya). Kesimpulan tersebut juga didukung oleh Ibn al-Azraq dalam bukunya, "Badai' al-Silki fi Thaba'i' al-Mulki".

Khusus mengenai penetapan awal bulan Ramadhan, apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW adalah bukti nyata peran pemerintah yang saat itu diperankan Nabi sendiri.

Ibnu Abbas meriwayatkan: Ada seorang Badui datang kepada Nabi. Ia berkata: “Aku telah melihat hilal yaitu Ramadhan.” Maka Nabi bertanya, “‘Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Si Badui itu menjawab, "Ya" Nabi bertanya lagi, "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Ia menjawab, " Ya." Kemudian Nabi berkata, "Wahai Bilal, umumkan kepada semua orang hendaklah mereka besok berpuasa." (Riwayat Abu Dawud, Turmudzi, Nasa'i dan Ibn Majah).

Tampak dalam Hadits ini bahwa si Badui itu hanya berperan sebagai informan, sedangkan Nabi sebagai penetap atas kebenaran informasi tersebut melalui uji validasi. Beliau juga menunjukkan fungsi instruktifnya kepada seluruh masyarakat saat itu.

Argumen ini juga didukung oleh riwayat Ibn Umar yang menceritakan, "Orang-orang melihat hilal, maka aku memberitahukan kepada Nabi, bahwa aku melihatnya, maka Nabi berpuasa dan menyuruh semua orang untuk berpuasa," (Riwayat Abu Dawud).

Berdasar Hadis kedua ini nyata sekali bahwa sebanyak apapun informasi mengenai ru'yah hilal, baru legitimate secara syar'i bila disahkan oleh penguasa yang berwenang. Syamsuddin al-Ramli mengutip pendapat al-Nawawi, bahwa bila ada seseorang yang bersaksi melihat hilal kemudian dibenarkan dan ditetapkan oleh penguasa, maka semuanya wajib berpuasa.

Dan dalam kondisi banyak orang menyatakan melihat, namun pemerintah tidak memandangnya sebagai informasi yang valid, maka esok harinya adalah hari ragu (yaum al-syak) yang haram untuk berpuasa. Hal ini dinyatakan al-Ghazali dan Jamal al-Yamani yang dikutip dalam "al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra" (III, 298)

Perbedaan (belum tentu) Rahmat

Realitasnya di Indonesia, secara de fakto dan de yure, mayoritas organisasi Islam berlindung di bawah payung hukum negara, dan di bawah asuhan Departemen Agama. Namun ironisnya, selalu tampak enggan ikut keputusan pemerintah dalam menetapkan Syawal walaupun mereka sendiri ikut bersidang.

Padahal ulama sepakat bahwa keputusan penguasa (hakim) tidak boleh ditentang dalam masalah-masalah ijtihadiyah, demi kemaslahatan hukum (al-Amidi, al-Ihkam, IV, 203). Dan ketetapan penguasa bersifat wajib ditaati sekaligus menghapus berbagai perbedaan pendapat (Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid, II,59).

Menurut penulis, ada beberapa kemungkinan mengapa sikap enggan itu terjadi. Pertama, kontaminasi arus pemikiran pluralisme. Ada kecenderungan ingin tampil berbeda. Secara normatif, sikap ini didukung dalil yang cukup populer yang berbunyi: "Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat." Padahal, ini adalah hadis yang tak berdasar sama sekali (al-Albani, al-Silsilah al-Dha'ifah, I, 141).

Al-Suyuti pun gagal menemukan sanad Hadits tersebut (al-Jami' al-Shaghir: 1243). Namun tetap saja Hadits ini digunakan sebagai pembenar untuk setiap perbedaan, bahkan yang mengarah pada penyelewengan agama.

Kedua, fanatisme kelompok. Ada kecenderungan membela kelompok jauh lebih penting dibanding mencari kebenaran. Dorongan ini acap kali muncul khususnya dalam suasana kompetitif dalam forum adu argumentasi.

Ketiga, egoisme pribadi. Tanpa harus mengarahkan telunjuk kepada orang lain, secara pribadi, kita sering mendahulukan ego pribadi meski dasar dan dalilnya tidak kuat. Dorongan seperti itulah yang bila muncul dapat menutup pintu sepakat dengan pihak lain. Anehnya, kita tetap memunculkannya meskipun kita tahu risikonya tidak ringan di hadapan Allah SWT sebagai tindakan sombong (kibr).

Besar harapan penulis akan adanya kesepakatan serta persatuan umat terhadap masalah Ramadhan atau 1 Syawal. Kesepakatan sebaiknya harus tetap di bawah imam, amir (penguasa). Bagaimana jika tetap ada yang berpendapat lain?

Imam Syafi’i, dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taymiyah (juz 6 halaman 65) mengatakan, “Kalau ada orang yang melihat (hilal) kemudian persaksiannya tidak diterima imam, maka dia wajib tetap berpuasa, tetapi sirri (sembunyi).”

Karena itulah di beberapa negara seperti Arab Saudi, Mesir dan Timur Tengah, perselisihan seperti ini belum pernah kita jumpai.

Akhirul kalam, sungguh kekuatan ada dalam persatuan dan keruntuhan pasti terjadi akibat perpecahan. Tak ada yang dapat disebut berhasil dalam berbeda pendapat, berhasil hanya tepat untuk sebuah akhir adalah sebuah kata “sepakat.”

sumber : www.hidayatullah.com

No comments:

Post a Comment

Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya