Mendengar protes para sahabat tersebut Rasulullah marah sekali. Beliau mengatakan bahwa yang paling bertakwa dan paling memahami agama ini adalah beliau. Beliau menegaskan agar para sahabat jangan sekali-kali menganggap enteng pahala amal-amalan yang beliau perintahkan.
Paling tidak ada dua hal menarik yang dapat kita lihat sebagai renungan kita dari kutipan hadis di atas. Pertama adalah ‘keresahan’ para sahabat yang hanya diberikan amalan-amalan yang ‘ringan-ringan saja’. Mereka bahkan sampai berani mengajukan protes terhadap hal ini. Menurut para sahabat tersebut, mereka janganlah diberikan amalan-amalan yang berpahala kecil sebab mereka ingin berlomba-lomba mengumpulkan pahala tentunya sebagai pemberat timbangan amal kebaikan di akherat kelak. Mereka meminta Rasulullah SAW memberikan kepada mereka amalan yang lebih berat yang mestinya juga berpahala lebih berat.
Yang perlu kita renungkan adalah alangkah berbedanya ghirah, semangat beribadah para sahabat dengan semangat kebanyakan dari kita sekarang. Dalam hidup kita sekarang ini, seringkali kita tidak memiliki semangat untuk ber-fastabiqul khairat- berlomba-lomba dalam kebaikan. Kita sering merasa cukup berada di luar arena, menjadi penonton atau bahkan pengulas, pengeritik perlombaan kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Ketika orang lain bersedekah, berinfak sekian-sekian kita sering komentari mereka mencari muka, mencari dukungan. Ketika orang lain rajin sholat berjamaah ke masjid walau pun dingin-dingin di pagi subuh, kita berdalih dengan hadis yang menyatakan bahwa Islam itu mudah maka janganlah dipersulit, cukuplah sholat di kamar saja kalau masih mengantuk. Kita lebih sering memposisikan diri sebagai penonton dan pengeritik tanpa keinginan terlibat dalam perlombaan meraih ridho Ilahi.
‘Ala kulli hal, kita jarang berusaha bertanya ibadah apa lagi yang bisa kita tingkatkan. Kita jarang resah karena tidak dapat meningkatkan amal ibadah kita. Kita sering merasa aman dengan amal yang sudah ‘rutin’ kita kerjakan tanpa ada upaya-upaya untuk pindah ke level yang lebih tinggi. Inilah sebenar-benar status quo!
Yang kedua adalah, bagaimana Rasulullah ‘meluruskan’ protes para sahabat yang menganggap bahwa amalan-amalan yang ringan-ringan akan selalu berpahala kecil.
Yang terjadi pada masa sekarang adalah, selain kita senang dengan status quo, begitu mudahnya kita melupakan amalan-amalan kecil untuk dijadikan kebiasaan. Contoh kecil, coba perhatikan berapa banyak orang Islam yang berdoa sebelum makan. Jangankan berdoa, mengawali makan dengan bismillah saja lupa! Kalau makanan sudah siap, sikat habis. Ini baru mengawali makan. Coba perhatikan lagi, berapa banyak orang yang berani mengucap salam ketika bertemu. Apalagi atasan ke bawahan, staf ke non-staf. Jarang, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada! Padahal untuk salam ini ada hadis yang menyatakan, jatah surga jatuh pada orang yang mendahului mengucap salam. Bagaimana dengan ucapan hamdalah, yarhamukallah pada saat bersin? Kayaknya lebih sering keluar ucapan bless you, ya? Mungkin karena kedengaran lebih keren... Dan seterusnya, dan seterusnya.
Yang ingin kami katakan, mari kita budayakan amalan-amalan kecil yang Islami, mengucap salam pada saat bertemu, berdoa pada saat makan atau sekedar bismillah, mengucap hamdalah ketika bersin dan membalas mendoakan dengan yarhammukallah bagi orang yang bersin (semoga Allah menyayangimu) dan lain sebagainya sambil kita berusaha meningkatkan level ketakwaan kita ke level yang lebih baik. Insya Allah amalan-amalan ringan ini dan upaya kita untuk menjadi pelaku ibadah yang lebih baik bisa menyemarakkan dakwah di lingkungan kita yang gersang ini.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang sopan dan bijaksana cermin kecerdasan pemiliknya